Kisah Tragis Bupati Pacitan Mas Sumodiwiryo, Tewas Dikeroyok Berandalan di Pendopo

SURABAYA, iNews.id - Pacitan merupakan daerah berbatasan dengan wilayah Jawa Tengah yang memiliki sejarah panjang. Pacitan pernah menjadi salah satu daerah bawahan dari masa Kerajaan Mataram Islam hingga beralih ke Keraton Yogyakarta.
Kisah memilukan pernah dialami salah seorang pemimpin atau dikenal sebagai bupati kala itu. Sosok ini bernama Mas Sumodiwiryo, anak dari Bupati Pacitan sebelumnya Mas Tumenggung Jogokaryo. Dikisahkan sang ayah Mas Tumenggung Jogokaryo yang tengah sakit-sakitan membuat Mas Sumodiwiryo memutuskan menghadap ke Kesultanan Yogyakarta.
Di sana ia menyampaikan kekhawatirannya akan kondisi sang ayah yang sudah tua dan sakit-sakitan. Dirinya khawatir bila sang ayah tiba-tiba meninggal dunia sehingga perlu adanya suksesi kepemimpinan di wilayah Pacitan.
Langkah itu ia lakukan karena mendengar kabar suksesi kepemimpinan Pacitan jatuh kepada adiknya Mas Karyodipuro sebagaimana dikutip dari "Kisah Brang Wetan: Berdasarkan Babad Alit dan Babade Nagara Patjitan", terjemahan Karsono Hardjoseputro. Mas Sumodiwiryo secara diam-diam akhirnya berhasil meyakinkan Sultan Yogyakarta kala itu memberikan suksesi kepemimpinan kepada dirinya.
Singkat cerita Mas Tumenggung Jogokaryo yang melihat surat keputusan Keraton Yogyakarta dibuat kaget. Ia mengakui bahwa dirinya memang telah tua, tetapi konon masih mampu memerintah dengan penuh kewibawaan.
Tetapi keputusan Keraton Yogyakarta itu mau tidak mau, harus diikutinya. Bahkan penyiapan anak sulungnya Mas Karyodipuro, sebagai penerusnya tidak terwujud. Alhasil Mas Sumodiwiryo pun naik takhta menjadi bupati Pacitan menggantikan ayahnya. Saat itu konon Pacitan tengah bergejolak, banyak berandalan dan perampokan terjadi dimana-mana.
Dari sekian berandalan yang bermaksud memberontak bupati yang baru dilantik yakni Kiai Bagor dan Irorono, yang berstatus Lurah Gedangan. Suatu waktu konon Kiai Bagor beserta orang-orangnya dengan senjata lengkap berangkat menyerang Kota Pacitan.
Kiai Bagor yang lumpuh ditandu oleh pasukannya, sedangkan Irorono naik kuda diiringi sekitar 50 orang pasukan di kanan kirinya. Rombongan pemberontak ini bisa menerobos beberapa pos pemeriksaan hingga memasuki pendopo, dengan dalih polisi desa yang membawa penjahat untuk diserahkan ke kota.
Di Pendopo Pacitan tanpa tading aling-aling para pemberontak itu langsung berteriak-teriak sambil mengambil tombak, telempak, dan persenjataan lain yang sudah disiapkan sebelumnya. Sang bupati yang baru terpilih Mas Sumodiwiryo atau yang bergelar Mas Tumenggung Jogonagoro terkejut dengan kemunculan berandalan pemberontak di pendopo.
Sang bupati pun langsung dikeroyok ramai-ramai oleh pemberontak. Pejabat pendopo lainnya Demang Ngemplak yang melihat bupati terdesak menghadapi berandalan bersenjata lengkap mencoba memberi perlawanan membantu Mas Tumenggung Jogonagoro.
Tetapi karena musuh sangat banyak, senjata keris yang diambilnya tak berarti banyak. Demang Ngemplak itu pun tewas tertusuk senjata lawan. Alhasil konon Mas Tumenggung Jogonagoro berjuang sendirian menghadapi para pemberontak.
Pada mulanya dia dapat menghindari serangan para pemberontak dan berbagai senjata tidak mempan, tetapi karena sedemikian banyak senjata yang mengenai tubuhnya, akhirnya hancur bagian dalamnya dan kemudian roboh, tak lama kemudian tewas.
Setelah tahu Mas Tumenggung Jogonagoro meninggal, para pemberontak bersorak-sorak keluar dari pendopo kabupaten, kemudian saling mengajak merampok dan membakar rumah-rumah. Begitulah akhir tragis Bupati Pacitan yang baru menjabat 40 hari.
Tewasnya sang bupati membuat anak sulung Mas Tumenggung Jogokaryo bernama Mas Karyodipuro naik tahta. Mas Karyodipuro kemudian berganti nama menjadi Mas Tumenggung Jogokaryo II yang menjabat antara 1826 - 1850.
Editor: Ihya Ulumuddin