Kisah Tragedi Ninja Berdarah di Banyuwangi, Kiai hingga Guru Ngaji Tewas Dibantai

Santri Disenjatai Bambu Kuning
Pascaperistiwa itu, situasi semakin genting. Sebab, korban terus berjatuhan, tanpa bisa dikendalikan.
Khawatir, akan banyak kiai yang menjadi korban, sejumlah pesantren pun menghimpun kekuatan. Mereka menggembleng para santri dengan ilmu kanuragan. Selain itu, mereka juga dipersenjatai dengan bambu kuning yang telah diberi doa. Tujuannya agar mereka siap sewaktu-waktu menghadapi ninja yang datang.
Selain perlawanan fisik, para santri juga diajak untuk melakukan perlawanan batin dengan cara mengamalkan sejumlah bacaan doa selepas salat magrib dan subuh. Tujuannya, mereka terhindar dari serangan ninja yang membabi buta.
Upaya para santri ini pun diikuti oleh masyarakat. Mereka berbondong-bondong mencari bambu kuning, lalu membawanya kepada kiai yang dianggap alim untuk didoai. "Waktu itu, tetangganya saya banyak yang ikut. Saya pernah diajak, tapi tidak mau. Saya pasrah saja pada Allah," kata Ridwan menceritakan.
Ridwan mengatakan, pada perlawanan itu, ada beberapa ninja yang berhasil ditangkap warga. Mereka selanjutnya dipukuli, termasuk diseret dengan mobil dan dibakar.
Ridwan juga menceritakan, bersamaan dengan fenomena ninja, di Banyuwangi waktu itu juga mendadak banyak orang gila berkeliaran di jalan. Bahkan, banyak di antara mereka yang juga ditangkap warga dan dihakimi hingga tewas. Sebab, mereka dianggap sebagai ninja yang menyamar.
Tak lama berselang, fenomena ninja di Banyuwangi itu pun reda dan hilang. Anehnya, fenomena orang gila pun ikut menghilang begitu saja.
Hingga saat ini kisah kelam tragedi Ninja Banyuwangi masih menjadi misteri. Tidak diketahui, siapa dalang dibalik pembantaian dukun santet, kiai hingga guru ngaji.
PBNU melalui tim pencari fakta (TPF) sempat berusaha mengungkap fakta tersebut dengan meminta keterangan para keluarga korban. Namun, upaya tersebut terhalang. Sebab, mereka menolak memberi keterangan dan hanya meminta nama baik keluarganya dipulihkan. Tidak dicap sebagai dukun santet.
Editor: Ihya Ulumuddin