Kisah Soerjadi Soerjadarma, dari Navigator Belanda, Polisi Jepang hingga Jadi Panglima TNI Pertama dari AU

JAKARTA, iNews.id - Marsekal Udara Soerjadi Soerjadarma merupakan Panglima TNI pertama dari Angkatan Udara (AU). Di tangannya, TNI AU terlahir yang dulu disebut AURI hingga menjadi angkatan udara paling canggih dan ditakuti di kawasan Asia Tenggara di era 1960-an.
Soerjadarma yang lahir di Banyuwangi, Jawa Timur pada 6 Desember 1912, diketahui masih keturunan bangsawan dari buyutnya, Pangeran Jakaria atau Aryabrata dari Keraton Kanoman.
Latar belakangnya yang berada di lingkungan terpelajar membuat Soejadarma tumbuh dalam lingkup pendidikan modern. Melansir situs resmi TNI AU, sejak kecil, dia sudah memiliki minat di dunia penerbangan dan bercita-cita menjadi penerbang.
Soerjadarma memulai pendidikan di ELS (Europeesche Lagere School) yaitu sekolah dasar khusus untuk anak-anak bangsawan, pada 1918, saat usianya enam tahun. Setelah lulus tahun 1926, dia melanjutkan pendidikan ke HBS (Hogere Burgere School) di Bandung. Namun, dia tidak sempat menamatkannya karena pindah ke Jakarta. Di Jakarta, Soerjadarma bersekolah di KWS-III (Koning Willem School) hingga 1931.
Jalannya untuk menjadi penerbang masih panjang. Dia harus menjalani pendidikan perwira di KMA (Koninklijke Militaire Academie), yang terletak di Breda, Belanda. Pada September 1931, ia mendaftar pendidikan perwira dan menjadi kadet (taruna) KMA. Di sana, Soerjadarma mempelajari dasar-dasar kemiliteran dan kepemimpinan hingga lulus pada 1934.
Dia kemudian ditempatkan di Satuan Angkatan Darat Belanda di Nijmigen, Negeri Belanda sebelum dipindahkan ke Batalion I Infanteri di Magelang sampai November 1936, satu bulan setelahnya. Karena telah menjadi perwira dengan pangkat Letnan Dua, Soerjadarma bisa mendaftar sebagai Calon Kadet Penerbang.
Namun, setelah dua kali mengikuti tes, dia selalu gagal lantaran terserang malaria. Setelah tes ketiga, barulah dia berangkat ke Kalijati untuk mengikuti Sekolah Penerbang.
Perjalanannya tidak mulus menjadi penerbang. Karena diskriminasi yang dilakukan Belanda, setelah lulus pada Juli 1938, Soerjadarma tidak kunjung mendapat brevet penerbang yang seharusnya menjadi haknya usai menyelesaikan pendidikan.
Meskipun teman sekamarnya telah tiga kali mengajukan nama Soerjadarma untuk melakukan check ride, tetap ditolak. Selama itu, dia hanya diperbolehkan untuk mengikuti ujian sebagai navigator.
Soerjadarma kemudian mengikuti pendidikan di Sekolah Pengintai pada Juli 1938. Setahun kemudian, dia pun ditugaskan sebagai navigator Kesatuan Pembom (Vliegtuiggroep) Glenn Martin di Andir, Bandung.
Pada Januari 1941, dia dipercaya menjadi instruktur Sekolah Penerbang dan Pengintai di Kalijati. Bukan sebagai pilot, Soerjadarma bertugas sebagai waarnemer, yang memiliki fungsi sebagai navigator, observer, perwira pengeboman dan air liason.
Satu tahun setelah itu, dia ditempatkan di Kesatuan Pembom, 7 e Vliegtuig Afdeling, Reserve Afdeling Bommenwerners, yang dijalani hingga bala tentara Jepang mendarat di Indonesia pada 8 Maret 1942. Saat itu, dia turut berpartisipasi dalam operasi mengebom kapal Jepang.
Dia kemudian menjadi KSAP dan KSAU pertama yang ikut serta dalam operasi pengeboman sekitar 50 kapal Jepang. Dalam operasi ini, dia bergabung dalam pesawat ketiga yang bernomor registrasi M-588.
Dalam keadaan genting, Soerjadarma dan tim tetap fokus dalam menyasar kapal-kapal Jepang. Aksinya itu menghasilkan dua kapal Jepang tenggelam. M-588 juga merupakan pesawat yang masih terbang hingga saat terakhir dengan kerusakan hanya di bagian mesin sebelah kiri dan kebocoran bahan bakar.
Keberhasilan operasi ini membuat pihak Belanda bangga dan menganugerahi awaknya Het Bronzen Kruis, tanda jasa khusus militer untuk keberanian masing-masing awak pesawat. Namun, Soerjadarma baru menerima medali ini pada 1968, setelah dirinya pensiun.
Pada masa penjajahan Jepang, karena latar belakang militernya, Soerjadarma sempat ditugaskan menjadi polisi untuk Jepang. Dia menjabat sebagai Kepala Administrasi Kantor Polisi Pusat di Bandung.
Namun, pada hari pembacaan Proklamasi, 17 Agustus 1945, Soerjadarma memilih bergabung dengan para pejuang bangsa demi mempertahankan kedaulatan Indonesia. Selanjutnya, Soerjadarma diserahi tugas untuk membentuk kekuatan udara Indonesia sehingga terbentuklah Tentara Keamanan Rakyat Bagian Penerbangan pada 1945.
Dalam perkembangannya, bagian ini mengalami perubahan nama menjadi Tentara Republik Indonesia atau yang lebih dikenal dengan sebutan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Waktu dan perhatian Soerjadarma dicurahkannya demi kemajuan AURI selama 17 tahun kepemimpinannya.
Soerjadi Soerjadarma mendapat kenaikan pangkat dari Komodor Udara menjadi Laksamana Muda Udara pada 1 April 1954 dan menjadi Laksamana Madya Udara pada 1 Juli 1958. Lalu, 1 Juli 1959, dia mendapat kenaikan pangkat Laksamana Udara. Dia kemudian diangkat menjadi Panglima TNI yang dulu masih bernama Menteri Kepala Staf AURI pada 18 Februari 1960.
Presiden Soekarno memberhentikan Laksamana Udara Soerjadi Soerjadarma sebagai Kasau dan mengangkat Laksamana Muda Udara Omar Dani sebagai Kasau pada 19 Januari 1962. Dia kemudian diangkat menjadi penasihat Militer Presiden RI di Jakarta sampai dengan tahun 1965.
Soerjadi Soerdarma kemudian menjabat sebagai Menteri Pos dan Telekomunikasi (Postel) di Jakarta. Tahun 1966, dia diperbantukan pada Menteri/PANGAU. Soekarno memberhentikan Soerjadi Soerjadarma dengan hormat dengan hak pensiun pada 13 Desember 1968.
Di usia 63 tahun, kesehatannya mulai menurun dan mengidap sakit. Pada minggu kedua Agustus 1975, Soerjadi Soerjadarma mulai dirawat di Rumah Sakit Husada, Jakarta selama seminggu. Soerjadi Soerjadar meninggal dunia pada Sabtu, 16 Agustus 1975 pukul 05.45 WIB.
Soerjadi Soerjadarma dikukuhkan oleh KSAU Marsekal TNI Hanafie Asnan sebagai Bapak AURI pada tahun 2000, sesuai surat keputusan KSAU nomor SKEP/68/VI/2000 tanggal 20 Juni 2000.
Untuk mengenang jasa-jasanya, sejak 7 September 2001, nama Soerjadi Soerjadarma diabadikan menggantikan nama Lanud Kalijati, salah satu pangkalan cikal bakal berdirinya TNI AU. Lanud Kalijati menjadi lokasi sekolah penerbang pertama di Indonesia.
Baca pembahasan mengenai Jalan Panjang Seorang Panglima TNI selengkapnya di Sindonews.com melalui link berikut https://www.sindonews.com/topic/5347/panglima-tni
Editor: Maria Christina