Kisah Pemakzulan Bupati, Dulu Aceng Fikri Kini Faida di Jember

JAKARTA, iNews.id - Rapat paripurna DPRD Jember dengan agenda menyampaikan hak menyatakan pendapat memutuskan untuk memberhentikan Bupati Jember Faida. Kepala daerah dari jalur independen itu dimakzulkan (impeachment) karena dinilai tak lagi diinginkan rakyat.
Pemakzulan diputuskan dalam rapat paripurna yang tak dihadiri Faida, Rabu (22/7/2020). DPRD sebelumnya telah menggelar rapat tentang hak angket dan interpelasi.
"Kami menganggap bupati telah melanggar sumpah jabatan, melanggar peraturan perundang-undangan, sehingga DPRD bersikap melalui hak menyatakan pendapat kompak bahwa bupati dimakzulkan," kata Ketua DPRD Jember Itqon Syauqi.
Faida merespons pemakzulan itu dengan jawaban tertulis. Terdapat tiga poin yang disampaikan bupati perempuan pertama Jember tersebut.
Pertama, perihal konsekuensi hasil rapat koordinasi dan asistensi (mediasi) penyelesaian permasalahan pemerintahan di Jember yang melibatkan kepala daerah dan DPRD. Kedua, pemenuhan aspek prosedural/aspek formil usul hak menyatakan pendapat oleh DPRD Jember, dan ketiga, pendapat Bupati Jember perihal materi yang menjadi alasan pengajuan hak menyatakan pendapat DPRD Jember.
"Hak menyatakan pendapat bukanlah hak yang bersifat bebas, melainkan hak yang dalam pelaksanaannya terikat kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur prosedur penggunaan hak tersebut," kata dia.
Kisah pemakzulan kepala daerah oleh DPRD bukan kali pertama terjadi di Indonesia. Faida merupakan bupati kedua yang merasakan panasnya palu sidang DPRD.
Impeachment bupati pertama kali terjadi di Kabupaten Garut. Kala itu, Bupati Aceng Fikri yang dimakzulkan DPRD. Penyebabnya, skandal nikah siri kilat.
Kasus ini bermula ketika Aceng menceraikan Fany Oktora, 18, perempuan yang baru dinikahinya empat hari. Memprihatinkannya, talak (cerai) itu hanya lewat pesan singkat. Aceng menceraikan Fany karena dianggap tak perawan saat malam pertama.
Begitu perceraian ini terbongkar, warga Garut dalam beberapa hari menggelar demonstrasi besar-besaran menuntut DPRD menggulingkan Aceng. Bupati itu dianggap tak punya rasa kemanusiaan dan melecehkan perempuan.
Setelah melalui proses panjang, karier Aceng sebagai bupati Garut tamat. Mahkamah Agung pada 2013 mengabulkan permohonan pemakzulan Aceng yang dimohonkan DPRD melalui surat Nomor 172/139/DPRD tertanggal 26 Desember 2012. Atas putusan ini, mendagri mengirimkan surat kepada Presiden. Lahirlah Surat Keputusan Presiden RI Nomor 17/P/ Tahun 2013 tanggal 20 Februari 2013 tentang pemberhentian Aceng Fikri.
Akankah Faida bakal bernasib sama?
Untuk diketahui, pemakzulan kepala daerah oleh DPRD hanya bersifat pemberhentian secara politik. Untuk benar-benar diberhentikan, ada prosedur hukum yang mesti dilewati.
Pemberhentian itu diatur dalam Pasal 80 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). Intinya, pemberhentian bupati harus diusulkan kepada menteri (dalam hal ini menteri dalam negeri) berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD.
Dasar pemberhentian tersebut yakni kepala daerah/wakil kepala daerah tersebut dinyatakan: melanggar sumpah/janji jabatan; tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b; atau melanggar larangan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1), kecuali huruf c, huruf i, huruf j; dan/atau melakukan perbuatan tercela.
Editor: Zen Teguh