Kisah Kepemimpinan Hayam Wuruk, Sering Blusukan Usai Gajah Mada Mundur
SURABAYA, iNews.id - Perubahan drastis terlihat di pemerintahan Kerajaan Majapahit setelah peristiwa Bubat. Cuti panjang yang berujung pengunduran diri Patih Gajah Mada berdampak pada perubahan sistem pemerintahan signifikan. Dewan-dewan menteri dibentuk untuk menggantikan Gajah Mada pada 1357.
Dewan menteri ini dipimpin oleh menteri paling senior di istana Majapahit. Mpu Prapanca pujangga terkemuka di Kerajaan Majapahit mencatat dengan semangat gaya pemerintahan baru Majapahit dan kematangan Hayam Wuruk dalam berpikir dan mengambil kebijakan.
Kakawin Nagarakretagama bab 71 - 72 dan 83, sebagaimana dikutip dari "Gayatri Rajapatni : Perempuan di Balik Kejayaan Majapahit", dari Earl Drake mengisahkan bagaimana para menteri tertinggi mempunyai kedudukan ganda. Mereka harus menjadi kaki tangan sang raja. Demikianlah tatanan baru ini diresmikan oleh para pangeran, seluruh dunia pun puas dan aman tentram, berkat jasa-jasa sang raja. Demikianlah Nagarakretagama mengisahkannya.
Gaya pemerintahan Majapahit yang signifikan berubah tentu interaksi antara raja Hayam Wuruk dengan rakyatnya. Hayam Wuruk kerap langsung turun langsung blusukan mengunjungi daerah-daerah di Jawa Timur. Hal ini membuat raja kian memahami kebutuhan rakyat jelata
Kemudian membuat lebih banyak lagi perubahan, salah satunya dengan mengundang setiap bangsawan dan pimpinan kabupaten ke ibu kota dalam sebuah pertemuan nasional yang diadakan setiap bulan Maret. Dalam pertemuan itu, raja menekankan pentingnya memperhatikan wilayah pedesaan.
"Kalian harus teguh mengemban tugas sebagai kelas Wseya-nya petani, teguh pada apa pun yang akan menghasilkan kemakmuran desa-desa di kabupaten; tetaplah berpegang pada prinsip itu! Jembatan, bendungan, jalan-jalan utama, rumah dan seterusnya, segala macam fasilitas umum yang berguna harus ditata," demikian syair yang berkembang dikisahkan pada Nagarakretagama.
Bab lainnya mengisahkan secara rinci kunjungan Hayam Wuruk ke sekeliling wilayah pedesaan. Para penduduk berbaris di tepi jalan, menanti kemunculan raja. Laksana umbul- umbul, gapura-gapura diberi hiasan pada kedua sisinya, semua kereta dikumpulkan di sisi-sisi jalan agar orang bisa berdiri di atasnya untuk menonton iring-iringan kerajaan dari kejauhan. Ketika sang raja tiba, rakyat menunduk hormat, sementara orkes musik dan terompet dari keong riuh menyambut.
Bab-bab itu menyimpang dari pakem lawas yang menentukan apa yang diperbolehkan dan yang tidak dalam kesusastraan istana. Larik-lariknya jauh lebih santai dan riang-dan realis-jika dibandingkan dengan tuturan tradisional tentang aktivitas keluarga kerajaan. Prapanca memaparkan sebentuk baru kekuasaan raja, yang sebelumnya tak pernah dikenal di Jawa.
Pada masa pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, penguasa tak diperkenankan mengunjungi pedesaan dan berpawai di hadapan rakyat. Tak pantas bagi seorang penguasa setengah dewa untuk berbaur dengan siapapun selain bangsawan dan pejabat tinggi.
Satu-satunya pengecualian adalah ketika Pangeran Wijaya hidup bersama para prajurit dan pekerja sewaktu ia melarikan diri dari pasukan Kediri yang lebih unggul. Namun, ketika sudah duduk di singgasana, para petinggi istana menasihatinya agar tak lagi melakukan hal serupa karena ancaman pemberontakan yang tak henti-hentinya mengusik.
Prapanca juga memaparkan secara rinci apa yang dilakukan sang raja dalam perjalanannya, siapa saja yang mengiringi dan datang menghadapnya. Ia pun menulis dua bab seputar bagaimana Hayam Wuruk menghibur para patih di istananya.
Prapanca menyebutkan seluruh hidangan yang tersaji di nampan emas, serta bermacam-macam anggur dan hiburan. Dia mencatat bagaimana raja bermain sebagai bintang utama dalam pertunjukkan singkat pada jamuan-jamuan makan malam.
Dia memuji kepedulian raja dan manfaat yang diberikannya kepada orang lain, begitu juga manfaat untuk Majapahit. Prapanca mengakhiri bab sembilan puluh dua dengan puji-pujian setinggi langit terhadap raja.
Editor: Ihya Ulumuddin