get app
inews
Aa Text
Read Next : Pengamat Unair Sebut Mahfud MD Potensi Kuat Dipilih jadi Menko Polkam

Ketua DPD La Nyalla Bicara Pentingnya Amandemen ke-5 UUD 1945 di FGD Unair

Kamis, 08 Juli 2021 - 17:33:00 WIB
Ketua DPD La Nyalla Bicara Pentingnya Amandemen ke-5 UUD 1945 di FGD Unair
Ketua DPD AA La Nyalla Mahmud Mattalitti menjadi pembicara di FGD Pasca-Sarjana Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, yang digelar secara virtual, Kamis (8/7/2012). (Foto: Istimewa)

JAKARTA, iNews.id - Ketua DPD AA La Nyalla Mahmud Mattalitti kembali menyampaikan pentingnya melakukan amandemen ke-5 UUD 1945. La Nyalla kali ini mengutarakan hal itu saat menjadi pembicara di FGD Pasca-Sarjana Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, yang digelar secara virtual, Kamis (8/7/2012). 

La Nyalla dalam FGD bertema “Penghapusan Ambang Batas Pencalonan Presiden Sebagai Peneguhan Kedaulatan Rakyat dan Penguatan Sistem Presidensial” itu mengungkapkan alasan DPD mewacanakan amandemen ke-5 konstitusi sebagai koreksi atas amandemen sebelumnya. Menurutnya, banyak frasa kalimat dan norma yang harus dikoreksi dari hasil amandemen konstitusi tahun 2002 lalu. 

Akibat amandemen tersebut, lahirsejumlah undang-undang yang merugikan bangsa. Salah satunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Isinya mengatur soal presidential threshold yang dianggap mengebiri kedaulatan rakyat dengan membatasi calon-calon pemimpin terbaik untuk mendapat hak sama untuk bisa tampil di pemilihan umum.

“Undang-Undang tentang Pemilu di Pasal 222 yang memberi ambang batas 20 persen kursi DPR atau 25 persen perolehan suara partai politik secara nasional, sama sekali tidak derivatif dari pasal 6A Undang-Undang Dasar hasil Amandemen 2002. Karena Pasal 6A Ayat (3) dan (4) mengatur ambang batas keterpilihan, bukan pencalonan. Tetapi faktanya, oleh Mahkamah Konstitusi hal itu dianggap open legal policy pembuat undang-undang,” kata La Nyalla.

Menurutnya, DPD memperjuangkan amandemen ke-5 agar dilakukan koreksi dengan memberi frasa yang lebih kuat tentang tidak adanya ambang batas pencalonan. Setiap partai politik atau gabungan partai politik berhak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa batas minimal perolehan suara.

“DPD membutuhkan rekomendasi dan latar belakang pemikiran, perlunya memberi frasa yang lebih jelas dan kuat terhadap hal itu,” ucapnya.

La Nyalla pun mempersoalkan bunyi Pasal 222 UU Pemilu yang terdapat kalimat “pada Pemilu anggota DPR sebelumnya” terkait dengan kepesertaan pada Pemilu Poin tersebut juga dianggap tidak derivatif dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD ‘45.

Pasal 6A Ayat (2) menyebutkan pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum “sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. 

Menurut para pelaku amandemen, kalimat “sebelum pelaksanaan pemilihan umum” normanya adalah partai politik peserta pemilu saat itu mendaftarkan nama capres dan cawapres sebelum pilpres.

“Makna dan hermeneutika kalimat ‘sebelum pelaksanaan pemilihan umum’ sangat berbeda dengan kalimat ‘pada Pemilu anggota DPR sebelumnya’,” kata La Nyalla.

Atas dasar hal tersebut, La Nyalla menilai sangat tidak logis bila pasangan capres-cawapres di Pilpres 2019 diajukan oleh partai politik peserta pemilu di tahun 2014. Begitu juga dengan Pilpres di tahun 2024 nanti diajukan oleh partai politik peserta Pemilu tahun 2019.

Namun, menurur La Nyalla, MK lagi-lagi menganggap hal itu open legal policy sehingga upaya judicial review atas Pasal 222 UU Pemilu mengalami kegagalan. Padahal kalimat ‘pada Pemilu anggota DPR sebelumnya telah menjadi penghalang bagi partai politik baru peserta pemilu pada 2024 nanti untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. 

"Sementara konstitusi menyatakan pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik,” ujarnya.

LaNyalla menilai UU Pemilu, khususnya Pasal 222 dapat disimpulkan sebagai disain besar dari oligarki untuk menguasai negara secara keseluruhan. Buntutnya, negara mengabdi pada tujuan oligarki untuk memperkuat akumulasi kekayaannya. Bahkan kalau perlu, negara harus menjadi pelayan bagi kaum oligarki.

“Saya mencatat setidaknya ada empat dampak negatif yang terjadi di negara ini akibat adanya presidential threshold yang diatur di UU Pemilu tersebut. Yang pertama, hanya akan muncul dua pasangan calon yang head to head. Meskipun di atas kertas didalilkan bisa memunculkan tiga hingga empat pasang calon. Tetapi tidak begitu dalam praktiknya,” ujar La Nyalla.

Menurut dia, ini terbukti karena dalam pemilu yang lalu bangsa ini hanya sanggup memunculkan dua pasang calon. Konsekuensinya, terjadi pembelahan politik dan polarisasi begitu kuat di akar rumput yang masih dirasakan hingga detik ini. Keadaan itu sangat tidak produktif bagi perjalanan bangsa dan negara ini.

“Dampak kedua, presidential threshold mengerdilkan potensi bangsa. Karena sejatinya negeri ini tidak kekurangan calon pemimpin kompeten. Tetapi, kemunculannya digembosi aturan main yang sekaligus mengurangi pilihan rakyat untuk menemukan pemimpin terbaiknya. Semakin sedikit kandidat yang bertarung, akan semakin mengecilkan peluang munculnya pemimpin terbaik,” katanya.

Presidential threshold pun dianggap berpotensi memundurkan kesadaran dan partisipasi politik rakyat. Hal ini lantaran pembatasan calon berarti membatasi saluran politik pemilih. 

La Nyalla menilai, peluang pemilih untuk tidak memilih alias golput menjadi tinggi karena calon terbaik menurut mereka tidak mendapat tiket untuk maju. Kedaulatan rakyat melemah digerus kedaulatan partai yang semakin menguat.

“Dampak keempat, partai kecil cenderung tak berdaya di hadapan partai besar terkait keputusan tentang calon yang akan diusung bersama. Padahal sejatinya, partai politik didirikan untuk mengusung kadernya agar bisa tampil menjadi pemimpin nasional,” kata La Nyalla.

Adanya aturan ambang batas capres dianggap menutup peluang kader partai politik kecil untuk tampil di gelanggang pilpres. Sebab, hanya partai politik besar atau gabungan partai politik yang bisa mengusung capres dan cawapres. Apalagi, dalil bahwa presidential threshold dikatakan untuk memperkuat sistem presidensil agar presiden terpilih memiliki dukungan yang kuat di parlemen, justru membuat mekanisme check and balances menjadi lemah.

“Karena partai politik besar dan gabungan partai politik menjadi pendukung presiden terpilih. Akibatnya yang terjadi bagi-bagi kekuasaan dan DPR menjadi legitimator kebijakan pemerintah. Inilah persoalan yang sebenarnya ada di hulu, bukan di hilir,” katanya.

Menurut La Nyalla, berkongsi dalam politik memang sesuatu yang lumrah. Namun, ini akan menjadi jahat ketika kongsi dilakukan dengan mendesain hanya agar ada dua pasang kandidat capres-cawapres yang bisa benar-benar berlawanan dan memecah bangsa, atau sebaliknya bisa pula seolah-olah berseteru.

“Aturan presidential threshold bisa membuka peluang menuju dua kemungkinan itu, terlebih ketika oligarki semakin menguat. Didukung jaringan dan sokongan finansial, oligarki bisa mengatur permainan politik di dua kubu bersebelahan,” katanya.

Mantan Ketua Umum PSSI ini juga menyinggung mengenai peluang calon presiden dan calon wakil presiden perorangan, atau dari kalangan nonpartai. DPD berikhtiar untuk mengembalikan atau memulihkan hak konstitusional DPD dalam mengajukan pasangan capres-cawapres.

“Disebut memulihkan, karena bila melihat sejarah perjalanan lembaga legislatif, hilangnya hak DPD untuk mengajukan kandidat capres-cawapres kecelakaan hukum yang harus dibenahi,” tuturnya.

La Nyalla mengingatkan, presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebelum amandemen UUD 1945. Saat itu MPR terdiri atas DPR dan Utusan Daerah serta Utusan Golongan. Hal tersebut berarti, baik DPR selaku anggota MPR maupun anggota MPR dari unsur Utusan Daerah sama-sama memiliki hak mengajukan calon.

“DPD lahir melalui amandemen ketiga, menggantikan Utusan Daerah. Maka, hak-hak untuk menentukan tata kelembagaan di Indonesia seharusnya tidak dihilangkan. Termasuk hak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden,” kata La Nyalla.

DPD pun dinilai memiliki legitimasi yang kuat karena posisi DPD dan Utusan Daerah memiliki perbedaan dari sisi keterpilihan. Bila Utusan Daerah dipilih secara eksklusif oleh anggota DPRD provinsi, maka anggota DPD dipilih melalui pemilihan umum secara langsung oleh rakyat. 

“Ini menjadikan DPD sebagai lembaga legislatif nonpartisan yang memiliki akar legitimasi kuat dan mandat langsung dari rakyat,” ujarnya.

La Nyalla juga mengajak semua pihak berkaca kepada hasil survei Akar Rumput Strategis Consulting (ARSC) yang dirilis pada 22 Mei 2021 yang lalu. Sebanyak 71,49 persen responden ingin calon presiden tidak harus kader partai dan hanya 28,51 persen saja yang menginginkan calon presiden dari kader partai. Studi ini dinilai harus direspons dengan baik.

“Seharusnya DPD bisa menjadi saluran atas harapan 71,49 persen responden dari hasil survei ARSC yang menginginkan calon presiden tidak harus kader partai. Makanya saya menggagas amandemen ke-5 nanti harus kita jadikan momentum untuk melakukan koreksi atas arah perjalanan bangsa,” ucap La Nyalla.

Dia mengatakan, kalau partai politik, yang di parlemen direpsentasikan melalui DPR dapat mengajukan pasangan capres dan cawapres, maka DPD sebagai representasi daerah idealnya juga mendapat kesempatan yang sama untuk mengusung. "Misalnya satu pasangan calon presiden dan wakil presiden dari usulan DPD,” ujarnya.

Apalagi, menurut La Nyalla, bangsa ini lahir atas proses panjang perjuangan komunitas civil society, yang meliputi Kerajaan Nusantara hingga pesantren serta organisasi masyarakat sipil lainnya. Dia menegaskan, Indomesia bukan dilahirkan oleh partai politik. 

Editor: Maria Christina

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya

iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut