MALANG, iNews.id - Pejuang kemerdekaan Indonesia dari Malang Raya berkumpul di sebuah tanah kosong di pertigaan Blimbing, Kota Malang, sebelum berangkat ikut ambil bagian dalam Pertempuran Surabaya. Pada lokasi tersebut kini berdiri Masjid Sabilillah kebanggaan warga Kota Malang.
Bangunan masjid ini berlokasi tepatnya di Jalan Ahmad Yani, Kecamatan Blimbing, Kota Malang. Masjid Sabilillah menjadi saksi pejuang-pejuang asal Malang yang terdiri dari para tokoh agama kiai, santri, hingga Tentara Keamanan rakyat (TKR) berkumpul sebelum berangkat ke Surabaya.
Pemerhati sejarah Malang, Agung H. Buana menuturkan, sebanyak 168 orang berkumpul dari jajaran Laskar Hizbullah. Mereka terdiri dari tokoh ulama, kiai, dan santri pondok pesantren di Malang dan sekitarnya. Mereka berkumpul di Masjid Sabilillah yang kini berada di kawasan pertigaan Jalan Ahmad Yani, Blimbing, Kota Malang.
"Pasukan ini enggak dikumpulkan dulu, terus langsung berangkat tidak, tapi berangkat sambil mengumpulkan pasukan. Jadi 168 pasukan itu tadi berangkat, kemudian ditambahi dari pondok-pondok yang dilewati," ujar Agung H. Buana ditemui iNews.id, Rabu (9/11/2022).
Selama perjalanan dari Malang hingga menuju perbatasan Surabaya, personel kian menggemuk. Tambahan kekuatan tiba dari pondok pesantren yang dilintasi seperti di wilayah Singosari, Lawang, Pandaan, Pasuruan, hingga Sidoarjo. Berdasarkan catatan Agung, ada sekitar 500-1.000 tentara gabungan dari kiai, santri, hingga Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Di sisi lain, Sekretaris Takmir Masjid Sabilillah, Akhmad Farkhan, menyatakan tentara rakyat Laskar Hizbullah pimpinan KH. Zainul Arifin dan Laskar Sabilillah di bawah KH. Masjkur, sempat menjadikan tanah kosong yang kini menjadi bangunan Masjid Sabilillah sebagai titik kumpul dan menggalang dukungan.
"Dulu memang sini dijadikan markas untuk menggalang dukungan untuk bertempur ke Surabaya," kata Farkhan ditemui di Ruangan Takmir Masjid Sabilillah.
Namun saat itu, lokasi beribadah berada di Masjid Jami Blimbing yang terletak di utara bangunan Masjid Sabilillah saat ini. Lantaran jamaah yang terus bertambah pada 1960-an, keinginan untuk mendirikan masjid yang lebih besar muncul.
"Setelah tahun 1968 itu, jamaah masjid yang lama tidak lagi muat karena kian hari jamaah kian bertambah. Maka pada 1968 dibentuklah panitia pembangunan Masjid Blimbing yang baru oleh KH. Nakhrawi Thohir," ujarnya.
Usai panitia terbentuk, peletakan batu pertama dilakukan pada 1974 di sebuah tanah kosong di selatan Masjid Jami Blimbing yang sempat dijadikan markas pejuang saat mengusir penjajah pada Pertempuran Surabaya.
"Karena berbagai hal pembangunan masjid ini sempat macet. Kemudian pada 4 Agustus 1974 atas prakarsa KH. Masykur dibicarakan kembali pembangunan masjid ini di rumah beliau di Singosari. Pada 8 Agustus 1974, pembangunan masjid ini dimulai kembali," kata Farkhan.
Farkhan menambahkan pembangunan masjid ini memerlukan waktu kurang lebih enam tahun dengan bantuan dari Pemerintah Kota Malang kala itu.
Sempat terhenti beberapa tahun, pembangunan masjid akhirnya selesai. Masjid tersebut menempati lahan seluas 8.100 meter persegi, terdiri atas bangunan induk masjid, menara, ruang kantor, tempat wudu, dan ruangan sekolah.
Uniknya, Masjid Sabilillah memiliki konstruksi bangunan yang melambangkan pergerakan perjuangan Indonesia. Jumlah pilar di luar masjid sebanyak 17 buah melambangkan tanggal proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Sementara ketinggian masjid dari lantai bawah hingga atap yakni 8 meter, melambangkan bulan Indonesia merdeka dari penjajah. Sementara tahun kemerdekaan Indonesia, 1945, dilambangkan pada lebar masjid dan tinggi menara yakni 45 meter dari permukaan tanah.
Jarak antarpilar satu dan lainnya juga memiliki filosofi tersendiri. Kerenggangan lima meter antarpilar itu melambangkan Pancasila dan rukun Islam yang berjumlah lima. Di bagian menara masjid berbentuk segi enam melambangkan rukun iman.
Di dalam masjid, juga terdapat sembilan pilar penyokong yang melambangkan jumlah Wali Songo, penyebar agama Islam di Pulau Jawa.
Editor : Rizky Agustian
Artikel Terkait