Kiai Manab pun kemudian menetap di Lirboyo. Dari titik itu, Kiai Manab memulai segalanya dari awal. Melansir dari laman lirboyo, saat itu, Desa Lirboyo hanyalah kawasan kecil yang dikenal angker dan menjadi sarang penyamun serta perjudian.
Nama “Lirboyo” ternyata punya makna filosofis yang dalam. Menurut sejarah setempat, kata ini berasal dari dua suku kata, yaitu “lir” yang berarti selamat dan “boyo” yang berarti bahaya.
Jadi, Lirboyo dapat dimaknai sebagai tempat yang membawa keselamatan dari bahaya, sebuah doa dan harapan agar wilayah tersebut menjadi lebih aman dan diberkahi.
Namun, dengan ketabahannya Kiai Manab secara perlahan berhasil menyadarkan penduduk setempat. Beliau kemudian mulai membangun sarana tempat ibadah, yaitu sebuah musholla yang dikenal dengan sebutan langgar angkring, lalu tiga tahun kemudian didirikanlah sebuah masjid yang dikenal dengan masjid lawang songo pada tahun 1913.
Dengan adanya masjid tersebut, keberhasilan dakwah Kiai Manab semakin terlihat. Masjid itu tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat pendidikan dan pengajian. Lambat laun, banyak masyarakat yang kemudian berguru kepadanya, termasuk seorang santri dari Madiun bernama Umar. Santri pertama ini kemudian menjadi cikal bakal Pondok Pesantren Lirboyo, yang dirintis dari nol oleh Kiai Manab.
Dengan tekun, rajin, dan tabah, Kiai Manab mengembangkan pesantren tersebut. Dalam satu dekade, banyak kemajuan yang dicapai. Jumlah santri semakin meningkat, datang dari berbagai daerah.
Desa Lirboyo yang dulunya gelap dan rawan kriminal berubah drastis berkat kehadiran pesantren. KH Abdul Karim tidak hanya mengajar ilmu agama, tapi juga membersihkan masyarakat dari kemaksiatan melalui dakwah dan teladan. Ini membuat Lirboyo menjadi pusat Islam di Kediri, terhubung dengan jaringan pesantren besar seperti Tebuireng (KH Hasyim Asy'ari) dan Tambakberas (KH Abdul Wahab Chasbullah).
Editor : Kastolani Marzuki
Artikel Terkait