Prawitra juga berpendapat bahwa MUI harus mempertimbangkan aspek urgensi ganja medis jika ingin mengeluarkan fatwa mengenai legalitasnya. “Yang dikedepankan itu hisbunnafs, pemeliharaan nyawa. Jika (ganja, red) tidak dipakai maka nyawa terancam, itu bisa (dibenarkan, red),” kata Prawitra.
Menurutnya, penggunaan ganja harus ditujukan untuk pemeliharaan nyawa tanpa membahayakan pemeliharaan akal. Namun, fatwa MUI bersikap tidak mengikat. Ia berfungsi sama seperti pendapat hukum (legal opinion) yang dikeluarkan oleh seorang ahli hukum. “Pada prinsipnya pendapat hukum itu tidak mengikat,” tuturnya.
Untuk memiliki kekuatan hukum yang mengikat, legalisasi ganja medis harus ditetapkan dalam undang-undang. Sebelumnya, isu ini harus menjadi pembahasan dalam program legislasi nasional terlebih dahulu.
Konsekuensinya, pemerintah Indonesia harus mampu melakukan law enforcement terhadap undang-undang tersebut. Pertanyaannya sekarang adalah apakah Indonesia mampu mencegah penyalahgunaan ganja apabila nanti dilegalkan dalam undang-undang.
“Saya takutnya kalau tidak dikontrol dengan baik, ganja yang awal mulanya untuk keperluan medis disalahgunakan untuk kepentingan hepi-hepi," ujarnya.
Prawitra juga mengimbau agar law enforcement dijalankan dengan baik. Kalau instrumen penegakan hukum di Indonesia belum kuat dan law enforcement-nya belum maksimal, Prawitra yakin upaya legalisasi ganja medis sia-sia.
“Pertimbangkan Indonesia ready atau tidak. Jangan sampai niatnya maslahat tapi hasilnya mudharat. Utamakan kemaslahatan untuk menghilangkan kemudharatan. Insyaallah berkah,” katanya.
Editor : Ihya Ulumuddin
Artikel Terkait