BLITAR, iNews.id - Abdurrahman Baswedan atau AR Baswedan dikenang sebagai tokoh pers Indonesia yang memegang peranan penting pada masa kemerdekaan. Dia juga dikenal gigih memperjuangkan asimilasi orang-orang peranakan Arab dengan pribumi.
Dalam peringatan Hari Pers Nasional 9 Februari 2023, pemikiran kakek dari mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan itu patut untuk dikenang kembali.
Sebagai jurnalis, dia memulai karier di surat kabar Sin Tit Po, yakni koran yang dimiliki peranakan Tionghoa. Pada 1923, dia masuk ke dalam jajaran redaksi Sin Tit Po.
Pada usia yang relatif muda, kesadaran Baswedan akan fungsi media massa telah tumbuh. Dia sadar sebuah gagasan atau pemikiran akan tersebar efektif jika melalui surat kabar, baik itu majalah maupun koran.
“Koran ini (Sin Tit Po) dipimpin Liem Koen Hian, seorang Tionghoa peranakan yang banyak sepaham pikiran dengan Baswedan,” demikian tertulis dalam buku Tanah Air Bahasa Seratus Jejak Pers Indonesia (2007), dikutip Kamis (9/2/2023).
Abdurrahman Baswedan lahir di Bangil, Pasuruan, pada 18 September 1908. Dia keturunan Arab yang sejak muda berkarakter dinamis sekaligus penuh vitalitas.
Baswedan mengenyam pendidikan formal di Madrasah Ampel Surabaya. Pasca kemerdekaan Indonesia, dia bersekolah di IAIN Sunan Kalijaga.
Di koran Sin Tit Po, AR Baswedan memiliki kecocokan dengan Liem Koen Hian. Keduanya memiliki prinsip yang sama, meyakini tempat kaum peranakan, yakni baik itu Arab maupun Tionghoa, di Indonesia.
Perjalanan Baswedan di dunia pers Indonesia berliku. Sepanjang 1932-1934, dia berpindah-pindah dari satu surat kabar ke surat kabar lain.
Setelah keluar dari Sin Tit Po karena berbeda pandangan, Baswedan bergabung ke harian Soeara Oemoem milik PBI (Persatuan Bangsa Indonesia).
Dia masuk ke Soeara Oemoem bersama Tjoe Tjie Liang dan Sjahranamual. Tak menunggu lama, para jurnalis baru ini langsung ditugasi menulis tema nasionalisme yang menjadi cita-cita PBI.
“Yaitu menjunjung kerja sama antar sesama bangsa Indonesia tanpa peduli soal keturunan dan agama,” bunyi buku tersebut.
Baswedan juga tidak bertahan di Soeara Oemoem. Karena alasan sakit, dia lantas memutuskan meninggalkan Soeara Oemoem, dan melakukan penyembuhan diri di Kudus, Jawa Tengah.
Dari Kudus, Baswedan pindah ke Semarang. Di Semarang yang sejak pra-kemerdekaan terkenal sebagai daerah pergerakan, Baswedan kembali mengaktifkan diri di dunia jurnalistik. Dia bergabung dengan surat kabar Matahari.
Matahari merupakan surat kabar milik Kwee Hien Tjiat, seorang Tionghoa peranakan yang mendukung pergerakan nasional dalam mewujudkan Indonesia merdeka.
“Di koran inilah gagasan-gagasannya (AR Baswedan) lebih dikenal khalayak,” demikian tertulis pada buku itu.
Dalam artikel tentang nasionalisme orang-orang Arab Peranakan tertanggal 1 Agustus 1934, Baswedan menegaskan pikirannya. Indonesia adalah tempat di mana dia dilahirkan. Tempat dia hidup dan sekaligus tempatnya berpulang nanti.
Karenanya, dalam artikel itu dia berseru kepada peranakan Arab untuk bersatu membantu perjuangan Indonesia. Dia mengimbau kepada para peranakan Arab untuk menganut asas kewarganegaraan ius soli. Baswedan juga memajang fotonya dengan mengenakan blangkon Jawa.
Sebagai tindak lanjut gagasannya, pada Oktober 1934, AR Baswedan mengumpulkan peranakan Arab di Semarang dan mendirikan PAI (Persatuan Arab Indonesia).
Sejak itu Baswedan menjadi tokoh politik. Harian Matahari dia tinggalkan dan memutuskan hijrah ke Jakarta.
Baswedan memilih menerbitkan media massa sendiri, yakni majalah Sadar. Pada masa penjajahan Jepang (1942-1945), majalah Sadar ikut dibredel bersama media massa lainnya.
Aktivitas jurnalistiknya memang terhambat. Namun karier politiknya melesat.
AR Baswedan diangkat menjadi anggota Jawa Hookokai, yakni himpunan kebaktian rakyat seluruh Jawa. Pasca-Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Baswedan diangkat menjadi Ketua pusat KNIP atau Komite Nasional Indonesia Pusat.
Dalam kabinet Sutan Sjahrir, dia sempat menjadi menteri muda penerangan. Pada 1947 bersama Haji Agus Salim, Baswedan menjalankan tugas diplomasi keliling di negara-negara Timur Tengah.
AR Baswedan tutup usia pada 16 Maret 1986, yakni pada usia 77 tahun di rumahnya Jalan Taman Yuwono, Yogyakarta. Pada 8 November 2018, Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Kepresidenan Jakarta menganugerahi AR Baswedan dengan gelar Pahlawan Nasional.
Editor : Rizky Agustian
Artikel Terkait