BLITAR, iNews.id - Nama Kusni Kasdut melegenda setelah peristiwa perampokan Museum Nasional Jakarta, 1963. Sejak saat itu dia dikenal sebagai penjahat besar yang ditakuti.
Merampok museum nasional. Menembak mati polisi Semarang. Menculik dokter Tionghoa di Surabaya. Membunuh miliader keturunan Arab di Jakarta, dan berkali kali kabur dari penjara. Itu semua deretana aksi kejahatan yang membuat Kusni ditakuti.
Padahal, jauh sebelumnya dia merupakan pejuang kemerdekaan. Di masa penjajahan Jepang sebelum Indonesia merdeka, Kusni adalah prajurit Heiho, tentara bentukan Jepang.
Sebagai tentara di batalion Matsumura Malang, dia banyak digembleng ilmu perang. Mengoperasikan senjata, mempelajari ilmu penyamaran, bertempur, menyabotase, bergerilya. Pangkat terakhirnya Jokotei. Saat Jepang bertekuk lutut, Kusni masuk ke dalam barisan pejuang Badan Keamanan Rakyat (BKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia.
BKR didirikan empat hari setelah Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan. Saat itu kabar Proklamasi Kemerdekaan lebih dulu tersebar di kalangan pejuang. Euforia kemerdekaan sontak meluber ke mana mana. Di jalan jalan, lazim terlontar pekik merdeka. Tidak terkecuali di Malang. Tempat Kusni berjuang sekaligus bertempat tinggal.
"Bung Kusni", begitu sesama laskar pejuang kemerdekaan memanggilnya. Seorang pemurung berkumis tipis yang pendiam serta berkulit cerah. Posturnya tidak tinggi. Berperawakan kecil sekaligus tidak bertulang besar. Namun liat dan bertenaga kuat. Sorot mata Kasdut tajam dan pemberani. Solidaritasnya sesama pejuang juga tinggi.
Saat itu namanya masih Kusni. Belum ada tambahan Kasdut di belakangnya. Kusni juga terlibat aksi pelucutan senjata tentara Jepang. Di Malang. Ia ikut memimpin penyerbuan gudang-gudang senjata. Menggasak amunisi sekaligus membagi bagikan ke sesama pejuang. Tidak terkecuali aset-aset vital. Kusni juga ikut merebut paksa.
Tentara Jepang yang mentalnya sudah ambruk karena kalah perang, ditawan. Yang nekat melawan, dengan terpaksa mereka habisi. Jelang akhir Oktober 1945. Surabaya yang kelak menjadi ibukota Jawa Timur, tengah bergolak. Inggris dengan NICA yang diboncengi tentara Belanda hendak menjajah kembali Indonesia melalui Surabaya.
Sejak September 1945 pasukan Inggris sudah masuk Semarang. Mendengar kabar itu, darah Kusni mendidih. Berbekal sepucuk bedil thomson rampasan, ditambah sebutir granat rakitan produksi Claket (Malang), serta semangat nasionalisme yang menyala-nyala, Kusni Kasdut bertolak ke Surabaya.
"Kusni dan rombongan naik kereta api menuju Surabaya. Sejak waktu masih di Rampal sampai dekat kota (Malang), suasana terus makin panas," kata Parakitri dalam buku "Kusni Kasdut".
Kusni Kasdut berasal dari Blitar. Begitu cerita yang terlanjur tersebar luas. Kelak saat diinterogasi aparat kepolisian Semarang, Jakarta dan Surabaya atas aksi kejahatan yang dilakukan, dia juga menyampaikan cerita serupa. Dia selalu mengaku lahir di Desa Jatituri, Kecamatan Sukorejo, Kota Blitar pada akhir tahun 1929.
Daniel Dhakidae dalam "Menerjang Badai Kekuasaan" mengatakan: Mencari tahu kapan Kusni Kasdut dilahirkan sama dengan mencari jarum dalam jerami. Hampir tidak ada catatan yang bisa dipercaya untuk menentukan tanggal lahirnya.
"Namun untuk keperluan resmi tanggal lahir yang dicatatnya sendiri adalah 29 Desember 1929," ujar Daniel Dhakidae. Kastun atau akrab dipanggil Mbok Cilik merupakan nama ibu Kusni Kasdut. Seorang penjual pecel di Gang Jangkrik, Wetan Pasar, Malang.
Cerita tentang asal usul Kusni Kasdut dari Blitar, datang dari Kastun. Kisah itu diungkap saat Kusni hendak pamit berjuang mengusir penjajah Inggris dan Belanda di Surabaya. Bukannya percaya, Kusni Kasdut malah marah, termasuk bapaknya yang dikatakan seorang Lurah Jatituri yang mati karena disiksa Jepang, Kusni juga tak percaya.
Beragam pertanyaan berpusing di kepalanya : Kenapa selama ini dirahasiakan? Ada apa? Kenapa tidak tinggal saja di Blitar? Kenapa hidup dengan menyewa rumah di Malang?. Kusni Kasdut sempat mendatangi Desa Jatituri, Blitar dan menemui kepala desa di sana.
Namun dia mendapati jawaban yang mengecewakan. Nama-nama yang disebut ibunya, tidak pernah ada. Kecurigaanya terlahir sebagai anak haram, makin berlipat. Kecewanya ditumpahkan dengan ancaman tidak sudi pulang sebelum ibunya bercerita yang sebenarnya.
Dalam buku "Kusni Kasdut", Parakitri menulis, Kusni Kasdut memang bukan berasal dari Blitar. Juga bukan dari Malang. Kusni lahir di Desa Bayan Patikrejo Kabupaten Tulungagung. Sekitar 20 kilometer dari Kabupaten Blitar. Wonomejo, ayahnya bukan kepala desa.
Ayahnya seorang petani biasa. Sebelum menikahi Kastun dan memiliki anak Kusni Kasdut, Wonomejo sudah memiliki istri dengan delapan anak. Sementara Kastun sebelumnya merupakan istri adik kandung Wonomejo yang dari pernikahannnya dikaruniai satu anak perempuan yang diberi nama Kuntring.
Setelah suaminya meninggal, Kastun menjanda. Tidak berlangsung lama, istri Wonomejo juga meninggal. Diam-diam Wonomejo kemudian menikahi Kastun yang sebelumnya merupakan adik iparnya. Pernikahan yang disembunyikan itu yang membuat mereka digunjingkan warga. Apalagi, saat itu Kastun mengandung Kusni Kasdut.
Saat Kusni berumur enam tahun, Wonomejo meninggal dunia karena sakit. Bukan disiksa tentara Jepang. Sebelum pindah ke Malang, Kastun bersama Kusni kecil dan Kuntring kakak Kusni beda bapak, lebih dulu singgah di Desa Jatituri, Blitar. Di rumah teman Kastun yang sudah dianggap seperti saudara, Kuntring dititipkan.
Sementara Kusni dibawanya ke Malang. Untuk menyambung hidup, Kastun berjualan pecel di teras rumah kontrakan di Gang Jangkrik, Wetan Pasar. Sekitar bulan Oktober 1945. Rombongan Kusni Kasdut tiba di Surabaya. Rombongan pejuang dari Malang datang saat insiden penyobekan bendera Belanda di Hotel Yamato, belum lama terjadi.
Saat itu situasi perlawanan arek-arek Surabaya tengah memuncak. Perlawanan dipimpin Dr Moestopo. Seorang doktor yang juga dokter gigi kelahiran Ngadiluwih, Kediri bekas komandan PETA Sidoarjo. Di siaran RRI, Bung Tomo terus berorasi. Semangat tempur para pejuang dan rakyat, terus dibakar. Tak ada kata menyerah.
Slogan Merdeka atau Mati terus digelorakan di mana mana. Daripada dijajah lagi, lebih baik mati. Dalam sebuah insiden di dekat Jembatan Merah, Brigadir Jendral AWS Mallaby Komandan Brigade 49 Divisi India Ke- XXIII, tewas. Inggris marah. Dari atas pesawat selebaran berisi ultimatum untuk menyerah, disebar.
Inggris mengancam akan meluluhlantakkan Surabaya. Arek-arek Surabaya marah. Kusni Kasdut marah. Semua marah. "Arek-arek Surabaya telah mencium bau mesiu. Kita tidak bisa digertak. Rapatkan barisan saudara-saudara, Inggris kita linggis! Inggris kita linggis! Saudara-saudara dengar?, Inggris kita linggis!".
Suara Bung Tomo tidak berhenti membakar semangat. Tanggal 10 November 1945. Tepat pukul 06.00 Wib, pertempuran dahsyat yang kelak setiap tahun dikenang sebagai Hari Pahlawan, meletus. Semua melawan. Termasuk pasukan Kusni Kasdut yang sejak tiba di Surabaya menempati bekas gedung sekolah wilayah Sawahan, sebagai kubu pertahanan.
Saling serang, saling tembak, saling melempar granat, tidak terelakkan. Perang yang tidak seimbang itu berlangsung sekitar tiga minggu. Inggris menghujani bom dari pesawat. Di buku "Kusni Kasdut", Parakitri menulis pada akhir Minggu pertama, Sawahan terkepung. "Kusni dan brigade Malang serta arek-arek Surabaya bertahan di dalam gedung sekolah".
Editor : Ihya Ulumuddin
Artikel Terkait