Ilustrasi konflik Sampit antara suku Dayak dan Madura. (Foto: Maspuq Muin/iNews.id)

JAKARTA, iNews.id - Perseteruan antara suku Dayak dan Madura dipandang menjadi salah satu perang antar-etnis terbesar di Indonesia. Perang yang lebih dikenal sebagai konflik Sampit ini mengakibatkan sedikitnya 500 orang tewas dan 100.000 lainnya mengungsi.

Skripsi Konflik Etnis Antara Etnis Dayak dan Madura di Sampit dan Penyelesaiannya oleh Rinchi Andika Marry, mahasiswa program studi ilmu sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (2014), mengulas secara mendalam konflik tersebut.

Dalam literatur tersebut, kekerasan kedua etnis pecah di wilayah Sampit, ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur di Kalimantan Tengah pada Februari 2001. Peperangan lantas berlangsung sepanjang tahun.

Salah satu etnis yang terlibat yakni suku Dayak. Etnis asli Pulau Kalimantan itu bersitegang dengan transmigran Madura asal Pulau Madura.

Perseteruan Dayak dan Madura sejatinya tidak hanya kali ini terjadi. Kedua suku telah berselisih di Pulau Kalimantan sejak era Orde Baru. Puncaknya terjadi saat era Reformasi.

Semula, kerusuhan terfokus di Sampit. Namun lambat laun meluas ke seluruh provinsi, termasuk ibu kota Palangka Raya.

Sejarah Konflik Sampit

Konflik ini ditengarai bermula karena kecemburuan sosial atas kedatangan transmigran dari Madura. Warga suku Madura telah bertransmigrasi sejak 1930-an melalui program pemerintah kolonial Belanda.

Perpindahan penduduk Madura ke Kalimantan puncaknya terjadi pada masa Orde Baru melalui program transmigrasi yang dimulai Pelita I-VI.

Program transmigrasi itu membawa dampak di berbagai aspek. Salah satunya aspek ekonomi, warga Madura banyak yang menguasai mata pencaharian di daerah tersebut karena dikenal gigih dan ulet dalam bekerja.

Aspek sosial budaya turut terpengaruh. Pasalnya, warga Madura kerap membawa budaya asli saat berinteraksi dengan penduduk lokal maupun etnis pendatang lain.

Hanya saja, saat bersosialisasi warga Madura dikenal temperamental dan cepat marah jika terjadi konflik. Apalagi, para transmigran itu kerap membawa senjata tajam ke mana pun mereka pergi sehingga diasosiasikan dengan budaya kekerasan.

Rinchi Andika Marry dalam skripsinya menulis, konflik bermula pada 18 Februari 2001 atas penyerangan dan pembunuhan empat anggota keluarga dari etnis Madura. Motif itu disebut terkait peristiwa di Kereng Pangi.

Warga Dayak dituding menjadi pelakunya. Lantas sekelompok transmigran Madura mendatangi beberapa warga Dayak dan membakar rumahnya lantaran tidak berhasil menemukan pelaku.

Peristiwa itu menyebar dengan cepat di kalangan suku Dayak. Kondisi semakin memanas karena kelompok warga Dayak tidak terima dan melakukan aksi pembakaran balasan terhadap rumah warga Madura.

Konflik berkembang menjadi pembantaian ketika warga Dayak dari luar Sampit berdatangan untuk melakukan pembalasan terhadap orang-orang Madura. Mereka melakukan sweeping terhadap warga Madura.

Sejumlah orang Madura yang tertangkap dieksekusi di tempat. Sweeping bahkan tidak hanya menyasar warga Madura yang terlibat konflik, namun juga orang yang memiliki darah atau keturunan Madura meski tidak tahu soal awal mula kerusuhan.

Para warga Dayak menuntut agar etnis Madura di Kalimantan Tengah segera pergi.

Penyelesaian Konflik Sampit

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Tengah lantas memfasilitasi pertemuan formal maupun informal antara tokoh kedua etnis. Tujuannya untuk perdamaian.

Kongres Rakyat Kalimantan Tengah (KRKT) pun digelar di Palangka Raya pada 4-7 Juni 2001. Peserta kongres dari Dayak garis keras dan Dayak garis lemah.

Keduanya memiliki pendapat yang saling berlawanan. Dayak garis keras menolak etnis Madura untuk kembali, sedangkan Dayak garis lemah memperbolehkan namun dengan beberapa persyaratan yang dipenuhi.

Akhirnya kedua etnis sepakat berdamai. Warga Madura yang mengungsi diperbolehkan kembali ke Kalimantan Tengah. Namun, Pemprov Kalimantan Tengah saat itu menerbitkan Perda Nomor 5 Tahun 2004 yang mengatur permasalahan pengungsi konflik Sampit.

Peraturan itu memuat beberapa poin, salah satunya warga Madura yang kembali ke Kalimantan Tengah harus menjunjung tinggi falsafah "Belom Bahadat" dan "di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.

Pada tahap awal pemulangan, warga Madura yang berprofesi sebagai anggota DPRD, mahasiswa, dosen, dan PNS menjadi yang pertama kali dipulangkan ke Kalimantan Tengah. Sebab, mereka dipandang bukan sebagai pihak yang berpotensi menyebabkan kerusuhan susulan.


Editor : Rizky Agustian

BERITA POPULER
+
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network