Tembang-tembang dalam Suluk Wijil menggunakan gaya Aswalita dan Dhandhanggula, berbeda dari pakem Hindu kala itu. Ini menjadi simbol transisi budaya besar dari Majapahit menuju era Islam di Jawa Timur.
Tak hanya indah secara sastra, suluk ini menyimpan ajaran tasawuf mendalam tentang pencarian jati diri, ketundukan kepada Tuhan, dan makna sejati kehidupan.
Primbon Bonang: Warisan Fikih, Tauhid dan Etika Hidup Saleh
Selain puisi mistikal, Sunan Bonang juga meninggalkan warisan spiritual monumental: Primbon Bonang. Kitab ini membahas fikih, tauhid, tasawuf, hingga etika hidup yang mulia.
Uniknya, dalam kitab ini, Sunan Bonang secara eksplisit menyebut "Ihya Ulumuddin" karya Imam Al-Ghazali sebagai referensi utama. Hal ini menunjukkan betapa ia mengintegrasikan khazanah keilmuan Islam global ke dalam budaya lokal.
Ajarannya menekankan pentingnya keselarasan antara syariat lahiriah dan tasawuf batiniah, demi kebahagiaan dunia-akhirat.
Melalui musik, puisi, dan pemikiran, Sunan Bonang tidak hanya berdakwah, dia membangun sintesis peradaban. Islam tidak hadir sebagai penghapus budaya, tapi sebagai ruh baru yang menghidupkan budaya lokal.
Itulah mengapa Sunan Bonang hingga kini dikenang bukan hanya sebagai ulama, tetapi juga seniman spiritual dan reformis budaya. Peran besarnya tak hanya membentuk wajah Islam di Jawa, tapi juga karakter masyarakat Jawa yang santun dan spiritual.
Warisan Sunan Bonang Hidup dalam Kesenian dan Spiritualitas Nusantara
Hari ini, pesan-pesan Sunan Bonang tetap hidup dalam gamelan, tembang, dan ajaran sufi yang diwariskan dari generasi ke generasi. Di tengah modernitas, karya dan dakwahnya menjadi pengingat akan pentingnya kearifan lokal dalam menyampaikan nilai universal.
Sunan Bonang membuktikan bahwa agama dan budaya bisa bersinergi, bukan saling meniadakan. Warisannya menjadi inspirasi abadi bagi bangsa Indonesia yang plural, spiritual, dan berbudaya.
Editor : Donald Karouw
Artikel Terkait