Setelah pemberontakan yang gagal itu, sisa prajurit batalyon PETA Blitar yang menyerah dialihkan ke Brebeg. Mereka ditempatkan di sebuah desa sepi yang masih rimbun hutan cemara dengan banyak berkeliaran laba-laba hitam beracun. Semua senjata mereka dilucuti dan diganti senjata kayu.
“Soeharto dikirim ke Brebeg, melatih anggota PETA junior untuk menjadi bundancho, sehingga dapat menggantikan senior mereka yang ditahan Jepang,” tulis David Jenkins.
Pada 18 Agustus 1945, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, Soeharto masih belum tahu Indonesia telah merdeka. Dia semakin tidak mengerti ketika usai melatih prajurit PETA, tiba-tiba tentara Jepang memerintahkan untuk bubar.
“Begitu saya selesai melatih prajurit-prajurit Peta tersebut, kami diperintahkan bubar,” kata Soeharto dalam memoarnya seperti dikutip dari buku Soeharto 'Di Bawah Militerisme Jepang.
Dua hari kemudian atau 19 dan 20 Agustus 1945, terjadi peristiwa yang membuat Soeharto semakin bingung. PETA dinyatakan telah dibubarkan disusul pelucutan senjata oleh Tentara ke-16 Angkatan Darat Jepang. Sebanyak 13.000 pucuk senjata diserahkan tanpa terjadi insiden.
Yang diketahui Soeharto, sesudah kesatuan-kesatuan PETA menyerahkan senjata, sejumlah perwira tentara Jepang tiba-tiba muncul secara rahasia di lerang Gunung Wilis. Mereka mengabarkan bahwa tentara PETA telah dibubarkan.
Para prajurit PETA, termasuk Soeharto dan rekan-rekanya dibebaskan pulang ke tempat asal masing-masing. Mereka mendapat bayaran enam bulan gaji, ditambah jatah pakaian serta bahan makan berupa beras, garam dan gula.
Editor : Reza Yunanto
Artikel Terkait