Sejak era kerajaan Mataram Islam, ada 11 kabupaten di Jawa yang dikenal sebagai wilayah pemasok perempuan menawan untuk kerajaan, di antaranya adalah Blitar, Malang, Banyuwangi dan Lamongan di wilayah Jawa Timur. Kemudian, Pati, Jepara, Grobogan dan Wonogiri di Jawa Tengah, serta Indramayu, Karawang dan Kuningan di Jawa Barat.
Yang memprihatinkan, posisi perempuan yang hendak menjadi calon selir menjadi semacam komoditas. Sebab tidak semua perempuan yang dibawa ke keraton berhasil dipinang sebagai selir raja.
Mereka yang gagal itu lantas ditempatkan di daerah terpencil, yang dalam perjalanannya menjadi cikal bakal munculnya praktik pergundikan dan prostitusi. Pergeseran nilai itu menemukan bentuknya setelah Perang Jawa (1825-1830), yakni ketika Kolonial Belanda mulai membuka proyek perkebunan, pembangunan jalan raya, pendirian pabrik gula, serta mengintensifkan pelabuhan.
Banyak pekerja yang rata-rata laki-laki merasa kesepian dan butuh dekapan perempuan. Pada masa kolonial Belanda, 11 Kabupaten di Jawa yang sebelumnya dikenal sebagai pemasok selir raja itu, bergeser menjadi pemasok praktik prostitusi.
“Kabupaten-kabupaten itu sekarang justru menjadi “pemasok” perempuan untuk prostitusi di kota-kota besar,” demikian dikutip dari buku Bukan Tabu Nusantara.
Editor : Ihya Ulumuddin
Artikel Terkait