MALANG, iNews.id - Kerajaan Kalingga di Pulau Jawa bagian tengah memiliki keterkaitan dengan dua kerajaan di Jawa bagian barat. Keduanya merupakan pecahan kerajaan tertua di Pulau Jawa, yakni Kerajaan Tarumanegara.
Kala itu, sang Raja Sanjaya merupakan keturunan dari Ratu Shima yang berkuasa di Kalingga. Sementara sang ayah, Bratasena merupakan raja Kerajaan Galuh ketiga yang merupakan teman dekat Tarusbawa.
Sosok Bratasena memiliki hubungan dengan Kerajaan Galuh karena cucu resmi Wretikandayun berasal dari putra bungsunya bernama Mandiminyak. Mandiminyak sendiri konon merupakan Raja Galuh kedua yang memimpin selama 7 tahun pada 702 M hingga 709 M.
Saat Bratasena memimpin Kerajaan Galuh tahun 716 M, terdapat perseteruan di dalam kerajaan. Bratasena dikudeta oleh Purbasora. Padahal Purbasora amerupakan saudara satu ibu yang memiliki ayah berbeda dari Bratasena.
Pada akhirnya Bratasena menyelamatkan diri ke Sundapura dan meminta pertolongan kepada Tarusbawa sebagaimana dikutip dari "Hitam Putih Pajajaran: Dari Kejayaan hingga Keruntuhan Kerajaan Pajajaran" tulisan Fery Taufiq El Jaquene.
Pada waktu yang sudah ditentukan, Sanjaya dibantu Tarusbawa menyerang Kerajaan Galuh yang pada saat itu dipimpin Purbasora. Galuh akhirnya mengalami kekalahan dan Sanjaya mampu menjadi penguasa Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Kalingga setelah Ratu Shima meninggal dunia.
Sebagai ahli waris Kerajaan Kalingga secara resmi, Sanjaya menjadi penguasa Kalingga bagian utara yang disebut Bumi Mataram hingga akhirnya dikenal sebagai Kerajaan Mataram Kuno tahun 732 M. Sementara tanah yang ada di Sunda diserahkan kepada putranya bernama Tamperan Barmawijaya atau Rakeyan Panaraban.
Secara garis keturunan, dia merupakan kakak seayah Rakai Panangkaran, putra Sanjaya dari Sudiwara putri Dewasinga Raja Kalingga Selatan atau sering dikenal Bumi Sambara.
Fakta sejarah ini didukung oleh Prasasti Jayabupati. Isi Prasasti Jayabupati mengungkapkan nama Sunda adalah sebagai kerajaan di Jawa Barat.
Prasasti ini berisi 40 baris yang harus memerlukan empat buah batu untuk menuliskannya. Batu ini ditemukan di Sungai Cicatih yang masih kawasan Cibadak, Kabupaten Sukabumi. Keunikan dari prasasti ini adalah disusun menggunakan bahasa Jawa Kuno.
Editor : Donald Karouw
Artikel Terkait