Huijer datang sebagai utusan Laksamana Pertama Paterson, seorang Pimpinan Angkatan Laut Sekutu di Asia Tenggara. Kedatangan perwira Belanda tersebut tak lain membawa misi rahasia dari pimpinan tertinggi angkatan laut Kerajaan Belanda.
Di Surabaya, secara terang-terangan Huijer menentang revolusi yang dikobarkan para pejuang Indonesia. Sikap Huijer bahkan memancing kemarahan para pejuang di Surabaya. Karenanya Huijer ditangkap dan ditahan oleh aparat keamanan Indonesia di penjara Kalisosok Surabaya.
Bahkan, pada saat menjelang kedatangan tentara Inggris di Surabaya, Drg Moestopo yang saat itu telah mengangkat diri menjadi menteri pertahanan mengajak rakyat Surabaya bersiap-siap untuk melakukan peperangan dengan pasukan Inggris. Rakyat Surabaya diajak untuk bersiaga menyambut kedatangan tentara Inggris dengan senjata.
Moestopo menyeru sambil mengendarai mobil terbuka dan pedang terhunus di tangan. Dia menyeru sambil teriak-teriak di sepanjang jalan di Surabaya, menyadarkan rakyat atas bahaya yang sedang mengancam.
Moestopo pula yang turut menyeru berpidato lantang melalui radio pada malam harinya. Secara khusus dia memperingatkan kepada tentara Inggris dan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) agar tidak mendarat di Surabaya.
Namun tentara Inggris tetap mendarat di Surabaya dengan diikuti tentara NICA yang membonceng tentara Inggris. Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana mana.
Tak berselang lama setelah tentara Inggris mendarat, dua orang perwira staf Mallaby menemui Gubernur Soerjo. Dua orang perwira staf Mallaby bermaksud untuk mengajak Gubernur Soerjo dan seorang wakil BKR untuk berunding dengan Mallaby. Tetapi, undangan itu ditolak oleh Gubernur Soerjo dengan alasan dia harus memimpin rapat.
Tetapi kemudian Gubernur Soerjo memutuskan untuk mengirim Moestopo pimpinan BKR untuk berunding dengan pihak Inggris dan bertindak atas nama pemerintah Jawa Timur. Sejumlah pejuang seperti dr Soegiri, pejuang Surabaya, Moh Jasin pimpinan polisi istimewa, serta Bung Tomo, belum menghasilkan kesepakatan.
Editor : Ihya Ulumuddin
Artikel Terkait