Pangeran Diposono mengerahkan perampok hingga dukun untuk melawan Belanda. (ilustrasi).

Tempat yang terakhir ini merupakan tempat yang sangat penting artinya bagi yang berhak atas tahta Mataram. Rencana Diposono yakni memancing bala tentara Yogya untuk keluar saat memulai pemberontakan di Kedu, dan kemudian menyerbu ke ibu kota kesultanan. 

Namun, strategi ini gagal. Dukungan dari pejabat-pejabat pribumi sangat terbatas dan Belanda mampu mengatasi gerakan tanggal 27-28 Januari 1822 itu di Kedu tanpa perlu mendatangkan bala bantuan dari Yogya. Pemberontakan Diposono di Yogya sendiri kemudian dengan cepat dapat dipadamkan di sekitar Lipuro di awal Februari.

Pangeran pemberontak itu dibawa ke Yogyakarta untuk diadili dan kemudian dijatuhi hukuman mati dengan cara dicekik, meski hukuman itu akhirnya diubah oleh Van der Capellen dengan pengasingan seumur hidup di Ambon. Pemberontakan Pangeran Diposono pada Januari-Februari 1822 ini merupakan gangguan yang sangat serius bagi takhta Sultan Hamengku Buwono IV. 

Peristiwa itu menandai suatu pemberontakan tradisional oleh seorang kerabat Sultan sendiri terhadap takhta kerajaan. Pengerahan para pemimpin bandit adalah cara tipikal menggalang dukungan dari anggota elite keraton. Namun, terlepas dari elemen-elemen tradisional ini, besarnya kemarahan rakyat pada umumnya terhadap orang Eropa dan Tionghoa merupakan pertanda penting pada masa itu.


Editor : Ihya Ulumuddin

Sebelumnya
Halaman :
1 2

BERITA POPULER
+
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network