Sebagai bawahan, De Kock tidak berani membantah perintah itu. Tapi sebagai manusia yang memiliki rasa humanis, dia mencoba menegosiasikan pemikirannya yang itu membuat Van den Bosch sedikit melunak. Perundingan damai di Magelang pun akhirnya diizinkan meskipun Van den Bosch tetap memperingatkan: bermurah hati kepada seorang yang menginspirasi pemberontakan akan dipandang sebagai kelemahan yang tidak dapat dimaafkan.
Pangeran Diponegoro yang memegang janji bahwa pertemuan dengan Jenderal De Kock hanya bersifat ramah tamah, dan dirinya tidak akan diapa-apakan, bersedia datang ke Magelang. Dalam pertemuan itu, De Kock juga memperlihatkan sikap persahabatan dan penuh rasa hormat.
Bahkan mereka saling bertukar cerita lelucon dan menemukan kesenangan yang sama. Namun bagaimanapun De Kock tetaplah bawahan yang setiap saat harus menjalankan perintah atasan. Apalagi bocoran yang diterima dari mata-matanya dari karsidenan Kedu, Diponegoro tetap kukuh dengan pendiriannya.
Pangeran Diponegoro sudah bulat pada niatnya untuk menjadi Ratu paneteg panatagama wonten ing Tanah Jawa sedaya (raja pemelihara dan pengatur agama di seluruh Tanah Jawa). Kolonial Belanda tidak mungkin mewujudkan keinginan Diponegoro tanpa lebih dulu berkompromi dengan para raja Jawa.
Pada 28 Maret 1830, Jenderal De Kock memutuskan menangkap Pangeran Diponegoro di mana tindakannya sekaligus mengakhiri Perang Jawa yang banyak menguras kas keuangan Belanda.
Setelau penangkapan Diponegoro, yakni masih di tahun 1830, di Nederland De Kock mendapat penghargaan dari negara. Kedatangannya dari Hindia Belanda disambut dengan Grootkruis der Militaire Willems Orde (Bintang Penghargaan Militer). Ia juga diangkat sebagai panglima pasukan-pasukan Belanda di Zeeland.
Editor : Ihya Ulumuddin
Artikel Terkait