korban pemberontakan G30S PKI

JAKARTA, iNews.id - Kisah Dewan Jenderal akan diulas dalam artikel ini. Isu Dewan Jenderal muncul sekaligus menghebohkan dalam peristiwa G30S PKI atau Gerakan 30 September 1965. 

Dewan Jenderal dituding Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai sekumpulan perwira tinggi Angkatan Darat (AD) yang tidak loyal kepada pemerintahan Soekarno atau Bung Karno. Bahkan secara serius PKI menuding Dewan Jenderal tengah menyiapkan kup atau kudeta.

Berdalih untuk menyelamatkan Presiden Soekarno, PKI kemudian mengambil langkah dengan membentuk Dewan Revolusi dan meletuslah peristiwa G30S PKI. Lantas mulai kapan isu Dewan Jenderal itu muncul?

Dalam buku Jenderal Yoga Loyalis di Balik Layar (2018) disebutkan, isu Dewan Jenderal muncul setelah Bung Karno mengemukakan pernyataan tentang rencana Nekolim (Neo Kolonialisme) yang hendak membunuhnya.

Tidak hanya dia. Menteri Luar Negeri merangkap Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) Subandrio dan Panglima Angkatan Darat Ahmad Yani juga dikatakan Bung Karno menjadi sasaran pembunuhan.

Soekarno mengucapkan pernyataan itu pada 28 Mei 1965 atau empat bulan sebelum peristiwa G30S PKI.

"Sejak pernyataan Presiden Soekarno itu, beredar desas desus di Jakarta mengenai adanya Dewan Jenderal yang anggotanya terdiri atas sejumlah perwira tinggi AD yang tidak loyal kepada Bung Karno," demikian dikutip dari Jenderal Yoga Loyalis di Balik Layar.

Dalam waktu cepat, desas desus tentang adanya Dewan Jenderal yang tidak loyal kepada Bung Karno, meluas. Rumor yang tidak diketahui ujung pangkalnya itu dikaitkan dengan isu penemuan dokumen Gilchrist.

Gilchrist merupakan Dubes Inggris di Jakarta yang menulis surat kepada Sekretaris Muda Kementerian Luar Negeri Inggris Sir Harold Cassia.

Dalam dokumen yang ditemukan pada 25 Maret 1965 itu dikatakan adanya sekelompok perwira AD yang akan membantu pasukan Inggris dan Amerika Serikat yang berencana menyerbu Indonesia.

"Beberapa jenderal yang didesas desuskan tidak loyal kepada Bung Karno itu yang juga diisukan menjalin kerja sama dengan pihak asing". 

Pada saat itu Indonesia tengah dalam situasi berkonfrontasi dengan Malaysia yang di back up Amerika. Teriakan Ganyang Malaysia mengudara di mana-mana yang disusul pekik Amerika kita setrika, Inggris kita linggis.

Bung Karno dalam pidatonya yang membakar di Radio Republik Indonesia (RRI) berkali-kali menegaskan: Kita tidak takut. Kita tidak akan dapat ditakut-takuti. Sayangnya, pada saat itu kehidupan sosial ekonomi rakyat begitu memprihatinkan.

Keuangan negara mengalami defisit parah. Inflasi meroket tinggi di mana bahan-bahan kebutuhan pokok sulit didapat. Akibatnya, untuk memenuhi kebutuhan hidup, rakyat terpaksa mengantre panjang dengan berbekal jatah kupon.

Pada saat yang sama orang-orang PKI, yakni terutama para kader BTI dan Pemuda Rakyat gencar melakukan aksi sepihak yang itu menimbulkan keresahan sosial di mana-mana.

Di beberapa wilayah, yakni seperti di Surabaya dan Kediri Jawa Timur, aksi sepihak BTI dalam merebut tanah mendapat perlawanan keras dari GP Ansor NU.  

Hal lain yang menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan masyarakat yakni pernyataan yang dilontarkan oleh tokoh-tokoh PKI. “Bahwa ibu pertiwi sudah hamil tua, yang akan melahirkan satu kekuatan baru”.

Demikianlah situasi sosial politik menjelang peristiwa G30S PKI. Pascaperistiwa 30 September 1965, yakni tepatnya 12 Maret 1966, PKI resmi dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang.


Editor : Ihya Ulumuddin

BERITA POPULER
+
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network