BLITAR, iNews.id - Desa Perdikan dengan kepala desa (kades) yang dipilih secara turun temurun pernah ada dalam sejarah desa di Jawa dan Madura. Desa Perdikan merupakan wilayah desa yang penduduknya dibebaskan dari kewajiban membayar pajak.
Dalam Bijblad No 7847 tahun 1912, jumlah desa perdikan pada masa kolonial Belanda sebanyak 170 desa dan 13 pedukuhan.
Keberadaannya tersebar mulai wilayah Semarang (10 desa), Rembang (1 desa), Surabaya (4 desa), Madura (19 desa dan 13 pedukuhan), Banyumas (41 desa), Kedu (70 desa), Madiun (19 desa) hingga Kediri (6 desa).
Soetardjo Kartohadikoesoemo dalam buku Desa (1984) menyebut perdikan berasal dari kata merdika. Kata itu bersumber dari bahasa sansekerta, Maharddhika yang artinya Tuan, Tuanku, Meester, Sir.
Dalam kitab Kawi Ramayana, Maharddhika dipakai untuk menyebut seorang ulama atau pendeta. “Dalam makna yang lebih dalam maka maharddhika (merdika) berarti bebas dari hidup lahir, yaitu merdeka terhadap diri pribadi…,” tulis Soetardjo Kartohadikoesoemo.
Adanya status desa perdikan di Jawa dan Madura sudah berlangsung lama, yakni sejak kekuasaan kerajaan Hindu Budha dan berlanjut hingga Mataram Islam.
Status desa perdikan berasal dari pemberian raja kepada orang-orang yang dianggap telah berjasa kepada kerajaan. Orang-orang kesayangan raja itu diberi hak khusus membuka hutan belukar yang kemudian menjadi sebuah desa. Raja kemudian menunjuk yang bersangkutan sebagai kadesnya.
Sebagai desa perdikan, ada kewajiban yang harus senantiasa ditaati. Kades dan rakyat di desa perdikan memiliki kewajiban memajukan agama, memelihara makam raja-raja atau orang lain yang dimuliakan atau dianggap keramat.
Kemudian wajib memelihara pertapaan, pesantren, langgar, masjid (pada masa masuknya Islam) dan sebagainya. Status perdikan juga menjadikan relasi kekuasaan desa bersifat khusus.
Kepala desa bertanggung jawab langsung kepada raja, bukan kepada pangeran, adipati maupun kepada bupati. “Raja berhak untuk merubah adanya hak-hak istimewa dan juga berhak mencabutnya,” kata Soetardjo Kartohadikoesoemo.
Pada 24 Mei 1836, Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan resolusi No 12 yang khusus mengatur pergantian kades desa perdikan.
Setiap kades desa perdikan yang berhalangan tetap atau meninggal dunia, calon penggantinya diajukan oleh pegawai pemerintah yang berkewajiban dan dipilih pertama-tama dari anak lelaki atau keturunan lainnya.
Jika tidak ada, pencalonan bisa dipilih dari sanak saudara terdekat atau ulama terkemuka. Dalam Staatsblad 1878 No 47 ditetapkan bahwa pengangkatan dan pemberhentian kades Perdikan dilakukan oleh Gubernur Jenderal.
Dalam perjalanannya, kekuasaan yang panjang serta hak istimewa yang dimiliki kepala desa Perdikan telah menimbulkan penyelewengan. Kepala-kepala desa perdikan di kemudian hari telah menjadi pemilik tanah pertanian yang luas, di mana asal-usul perolehannya tidak bisa dijelaskan.
Menanggapi hal itu Pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1873 sampai turun tangan melakukan serangkaian penyelidikan dan diperoleh hasil yang mengejutkan.
Terdapat kesenjangan kehidupan sosial ekonomi antara kepala desa Perdikan dengan rakyatnya.
“Pada umumnya keadaan rakyat di desa-desa itu (Desa Perdikan) menyedihkan, terutama oleh karena mereka tidak mempunyai hak yang tetap atas tanah. Hak itu adalah di tangan kepala desa,” tulis Soetardjo Kartohadikoesoemo dalam buku Desa.
Pada tahun 1918 Pemerintah Hindia Belanda memulai mengusahakan penghapusan status Desa Perdikan secara bertahap. Untuk penghapusan ini Belanda mengeluarkan biaya yang tidak kecil.
Proyek penghapusan Desa Perdikan ini terus berlanjut hingga tahun 1921. Penghapusan status Desa Perdikan baru terwujud secara penuh saat Indonesia merdeka.
Pada awal kemerdekaan, Pemerintah Indonesia menerbitkan UU No 13 Tahun 1946 yang salah satu klausul di dalamnya adalah penghapusan status Desa Perdikan.
Motivasi penghapusan Desa Perdikan adalah agar seluruh desa di wilayah Indonesia sejajar dan tidak ada hak istimewa melekat pada salah satu desa. Hal itu sesuai dengan falsafah Pancasila.
Editor : Ihya Ulumuddin
Artikel Terkait