Para penggawa tinggi sepakat negara Batoro Katong dinamakan "Panaraga [Ponorogo]", karena orang-orang sudah pana atas raga-nya. Pana berarti "paham" dan raga berarti "badan".
Mereka memahami badannya, memahami asal muasal raganya, dan tahu pada akhir perjalanannya artinya, tahu kemuliaan sangkan paran yang berarti asal dan tujuan hidup.
Ketika itu juga, pangeran cucu Batoro Katong ditetapkan oleh Sultan Trenggono sebagai adipati, dan seluruhnya sudah sepakat dengan para mukmin dan petinggi bahwa rumah selesai dibangun, sehingga dilakukanlah boyongan dan jumenengan (pengangkatan) menjadi adipati.
Sejak saat itulah, tahun-tahun pemerintahan Adipati Ponorogo III termasuk tenteram. Orang-orang Ponorogo yang maju dalam hal mempelajari agama Islam bahkan kian bertambah, hingga terkenal ke seluruh Pulau Jawa bahwa orang-orang Ponorogo pintar mengaji kitab.
Setelah meninggal, Batoro Katong dimakamkan di dalam pagar Katongan, yang namanya kemudian diganti dengan Astana Batoro Katong. Di dalam, pagar rumah menjadi makam priayi yang lain dan empat saudaranya dimakamkan di Katongan tersebut.
Editor : Ihya Ulumuddin
Artikel Terkait