JAKARTA, iNews.id - Kasus yang menjerat Moch Subchi Azal Tsani (MSAT) menjadi salah satu peristiwa yang menarik perhatian publik sepanjang 2022. Putra kiai salah satu pondok pesantren (ponpes) ternama di Kabupaten Jombang itu dinyatakan terbukti melakukan pencabulan terhadap santriwati.
Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya memvonis pria yang karib disapa Mas Bechi itu dengan pidana tujuh tahun penjara pada 7 November 2022. Dia dianggap melanggar Pasal 289 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP dan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Sejumlah peristiwa mengiringi penanganan kasus Mas Bechi hingga akhirnya hakim PN mengetuk palu. Berikut perjalanan kasus Mas Bechi sepanjang 2022.
Berkas Penyidikan P21
Kasus Mas Bechi mulai menyita perhatian publik saat Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur (Jatim) menyatakan berkas perkara dugaan pencabulan telah lengkap alias P21 pada 4 Januari 2022. Mas Bechi ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) bernomor B/175/XI/RES.124/2019/Satreskrim Polres Jombang tertanggal 12 November 2019.
"Berkas sudah dinyatakan lengkap. Selanjutnya, kami akan berkoordinasi dengan penyidik kepolisian untuk dilakukan penyerahan barang bukti dan tersangka yakni pada tahap II," kata Kasi Penerangan Hukum (Penkum) Kejati Jatim Fathur Rohman, 6 Januari 2022.
Polda Jatim pun kesulitan untuk segera melakukan pelimpahan barang bukti dan tersangka tahap II. Pasalnya, Mas Bechi tak kunjung memenuhi panggilan yang dilayangkan kepolisian.
Pada pemanggilan pertama, Mas Bechi melalui kuasa hukumnya meminta dijadwalkan ulang. Alasannya, Mas Bechi tengah sakit sehingga berhalangan memenuhi panggilan penyidik.
Penyidik Polda Jatim juga sudah mendatangi kediaman Mas Bechi untuk menyerahkan surat panggilan yang berlokasi di salah satu ponpes di Jombang. Namun, langkah penyidik diadang oleh massa pengikut Mas Bechi.
Polda Jatim lantas menerbitkan daftar pencarian orang (DPO) atas nama Moch Subchi Azal Tsani. Polisi juga mengancam akan menjemput paksa Mas Bechi ke kediamannya.
"Kami sudah melayangkan panggilan pertama dan kedua pada tersangka (MSA)," kata Dirreskrimum Polda Jatim Kombes Pol Totok Suharyanto di Mapolda Jatim, 14 Januari 2022.
Mas Bechi Melawan
Di sisi lain, Mas Bechi tak tinggal diam. Dia melalui kuasa hukumnya mengajukan gugatan praperadilan ke PN Jombang atas penetapan tersangka terhadapnya terhadap Polres Jombang dan Polda Jatim.
Hanya saja, hakim tunggal Dodik Setyo Wijayanto menolak gugatan praperadilan Mas Bechi pada 27 Januari 2022. Dodik menyatakan, langkah polisi menetapkan Mas Bechi sebagai tersangka telah sesuai dengan prosedur.
"Berasarkan bukti-bukti yang diajukan kedua belah pihak serta keterangan para saksi, maka gugatan ditolak," kata Dodik.
Gugatan tersebut menjadi yang kedua kali diajukan Mas Bechi. Sebelumnya, permohonan serupa juga pernah diajukan di PN Surabaya, namun ditolak.
Drama Penangkapan Mas Bechi
Polisi pun bergerak. Sejumlah personel diterjunkan untuk menjemput Mas Bechi pada 7 Juli 2022. Sejumlah ruangan di ponpes disisir yang disinyalir menjadi tempat persembunyian untuk mencari Mas Bechi.
Upaya itu dihalang-halangi oleh ratusan simpatisan Mas Bechi. Sedikitnya 320 orang, 20 di antaranya anak-anak, diamankan.
Setelah berjam-jam dikepung, akhirnya Mas Bechi menyerahkan diri. Dia langsung digelandang ke Mapolda Jatim.
Pada 8 Juli 2022, penyidik Polda Jatim langsung melakukan pelimpahan tahap II atas kasus Mas Bechi. Dia dan barang bukti diserahkan ke penuntut umum Kejati Jatim untuk disidangkan.
Dituntut 16 Tahun Penjara
Sidang perdana kasus dugaan pencabulan santriwati yang menjerat Mas Bechi disidangkan pertama kali pada 18 Juli 2022. Sidang yang berlangsung di PN Surabaya itu digelar tertutup dan dipimpin Sutrisno selaku hakim ketua, dan dua hakim anggota Titik Budi Winarti dan Khadwanto.
Proses pemeriksaan terdakwa, saksi, hingga barang bukti pun bergulir. Selama persidangan berjalan, puluhan aparat dari Polda Jatim dikerahkan untuk melakukan pengamanan.
Pada 10 Oktober, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut majelis hakim agar Mas Bechi dijatuhi hukuman 16 tahun penjara. JPU menerapkan tuntutan maksimal sesuai Pasal 265 juncto 65 ayat (1) KUHP.
Hukuman maksimal yang diatur dalam Pasal 265 KUHP yakni 12 tahun penjara. Kemudian ditambah 1/3 dari Pasal 65 KUHP selama empat tahun penjara. Sehingga total tuntutan yakni 16 tahun penjara.
"Tidak ada hal yang meringankan pada terdakwa. Semua sudah dibuktikan tim penuntut umum dengan mengedepankan hati nurani dan atas nama Undang-undang,” kata Kepala Kejati Jatim Mia Amiati dalam persidangan di PN Surabaya.
Vonis 7 Tahun Penjara
Setelah empat bulan bergulir, persidangan akhirnya tiba pada pembacaan putusan. Hakim Ketua Sutrino memvonis Mas Bechi tujuh tahun penjara pada 17 November 2022.
Dia menilai Mas Bechi terbukti melakukan pencabulan terhadap santriwati. Mas Bechi dinilai melanggar Pasal 289 KUHP juncto Pasal 65 KUHP.
"Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pencabulan secara paksa terhadap korban dan mejatuhkan pidana tujuh tahun penjara," kata Ketua Majelis Hakim Sutrisno.
Dia mengungkap, hal memberatkan yang menjadi pertimbangan dalam amar putusan yakni Mas Bechi merupakan tokoh agama yang berpengaruh di lingkungannya. Sementara yang meringankan yakni Mas Bechi masih muda, tulang punggung keluarga, dan memiliki anak yang masih kecil.
Putusan tersebut lebih ringan jauh lebih ringan dari tuntutan JPU. Pada sidang sebelumnya, JPU menuntut agar Mas Bechi dijatuhi hukuman 16 tahun.
Istri Meradang, Korban Kecewa
Mendengar putusan terhadap sang suami, Durrotun Mahsunna alias Elin Rianda, istri Mas Bechi meradang. Dia histeris di ruang sidang lantaran tidak terima atas putusan majelis hakim.
Dirinya menangis dengan kencang dan berteriak tidak terima. Dia bahkan menuding hakim telah berbuat zalim terhadap sang suami.
"Saya mau bertemu suami saya. Ini zalim, mana ada hubungan suka sama suka tapi dipenjara," kata Sunnah, sapaan akrabnya.
Sementara, kuasa hukum korban sekaligus Ketua Women Crisis Center (WWC), Ana Abdillah, mengaku kecewa dengan vonis tujuh tahun yang dijatuhkan majelis hakim. Dia menilai putusan itu belum memenuhi keadilan terhadap perempuan korban kekerasan seksual.
Dia turut menyayangkan sikap majelis hakim yang secara terang-terangan membuka identitas korban. Tindakan itu, dinilai Ana, bertentangan dengan asas perlindungan korban asusila sebagaimana diatur dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
"Vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim sangat jauh sekali sama tuntutan JPU. Kurang dari dua per tiga. Ini masih belum memenuhi asas keadilan perempuan korban kekerasan yang sudah berjuang tiga tahun lamanya," kata Ana.
Editor : Rizky Agustian
Artikel Terkait