Tentara marah. Mereka tak lagi menerima para demonstran dengan pidato. Massa direpresi dengan hunusan bayonet serta desing peluru. Namun massa tak gentar. Pada 24 Februari 1966, saat kabinet hasil reshuffle hendak dilantik, mahasiswa kembali berunjuk rasa besar-besaran.
Mereka memblokir jalan-jalan raya yang hendak dilintasi para menteri. Dikutip dari Aksi-aksi Tritura: Kisah Sebuah Partnership 10 Djanuari-11 Maret 1966, Ketua Presidum KAPPI M Husnie Thamrin mengatakan, hari itu mahasiswa tidak sedang berdemonstrasi, melainkan sedang bertempur.
"Saya tidak bisa mengatakan KAMI berdemonstrasi. Karena seingat saya tidak demikian sebenarnya. Saya mengatakan bahwa pada hari-hari itu, KAMI bertempur!”.
Melalui puisi berjudul “Merdeka Utara” penyair Taufiq Ismail menggambarkan situasi hiruk pikuk saat itu. Tembakan aparat keamanan ke arah demonstran menewaskan seorang mahasiswa kedokteran UI Arief Rahman Hakim dan Zubaedah, seorang pelajar sekolah menengah.
Kemarahan massa makin terbakar. Presiden Soekarno mengimbangi dengan menerbitkan SK Presiden No 41/Kogam/1966. Isinya, mulai 26 Februari 1966, presiden menyatakan telah membubarkan KAMI. Namun oleh para aktivis mahasiswa, keputusan itu tak diindahkan.
Mahasiswa terus menggelar unjuk rasa besar-besaran bersama KAPPI dan Laskar Arief Rahman Hakim. Setelah berbulan-bulan ditekan aksi massa mahasiswa, Presiden Soekarno akhirnya menerbitkan surat perintah 11 Maret 1966 (Supersemar).
Bung Karno mungkin berharap dia nantinya bisa bersiasat lain. Namun Supersemar yang berisi penyerahan wewenang kepada Soeharto justru membuat kekuasaan Bung Karno sebagai Presiden Republik Indonesia kemudian berakhir.
Editor : Ihya Ulumuddin
Artikel Terkait