Pangeran Diponegoro (ilustrasi).

SURABAYA, iNews.id - Perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap penjajah Belanda ternyata sudah dimulai sejak muda. Perlawanan ini tak lepas dari tekanan Belanda terhadap Keraton Yogyakarta yang masih menjadi bagian dari keluarganya. 

Pada paruh pertama bulan Agustus 1808, setelah melihat bukti-bukti sultan kedua Keraton Yogyakarta untuk menerima aturan seremonial baru yang diberlakukan. Gubernur Jenderal Belanda Daendels mengancam untuk datang ke Yogyakarta dengan kekuatan bersenjata guna memaksakan kehendaknya. 

Sebagaimana dikisahkan pada buku "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855" tulisan Peter Carey, saat itu Belanda menuduh raja Yogya itu kurang setia. Karenanya Daendels merasa perlu bertemu dengan sultan. Dia berkeyakinan, segala perkara akan beres jika ia dapat berbicara dengan sultan, secara pribadi. 

Namun, dengan 3.000 serdadu di belakangnya, pertemuan tatap muka antara Daendels dan sultan hampir tidak mungkin dapat menjadi pertemuan pemikiran. Apalagi, tekanan juga diarahkan oleh Belanda agar keraton membuka akses Belanda ke hutan-hutan jati di wilayah sebelah timur. 

Ketua Dewan Administrasi Hutan yang baru ditunjuk oleh Gubernur Jenderal Gustaf Wilhelm Wiese menuliskan surat dari Rembang. Isinya meminta bupati Padangan, yang sekarang menjadi bagian dari kabupaten Bojonegoro dan Panolan, yang sekarang Cepu untuk membuka akses ke wilayah hutan. 

Dari daerah inilah Belanda membutuhkan untuk kegiatan penebangan kayu. Maka bupati-bupati wilayah Padangan dan Panolan diminta untuk hadir di Yogyakarta. Tujuannya satu guna mendengarkan instruksi-instruksi Daendels. Raden Ronggo yang merupakan adipati di Madiun, juga dipanggil menghadap.

Sebab, Madiun juga daerah yang memiliki kayu yang berlimpah. Apa yang menarik, Wiese tak berapa lama kemudian dipindahkan ke Yogyakarta sebagai residen. Dari dua bupati di atas kemudian ikut memberontak bersama Ronggo, dan yang kedua Raden Tumenggung Notowijoyo III dari Panolan, mertua Pangeran Diponegoro.

Melalui sang mertua inilah Pangeran Diponegoro muda akhirnya mengetahui tekanan-tekanan politik Belanda yang dialamatkan kepada kesultanan, untuk membuka akses Belanda ke wilayah penghasil kayu. 

Langkah Daendels ini juga untuk mengamankan akses persediaan kayu jati. Tak hanya itu, keputusan untuk mendatangkan dua bupati di timur Keraton Yogyakarta juga untuk mengurangi berbagai aksi penggarongan di wilayah Belanda yang dilakukan warga.

Menurut Daendels, kerja sama pihak keraton dalam usaha-usaha penyelidikan tindak kriminal ini, agar para pelaku kejahatan tidak mudah mencari perlindungan di wilayah yurisdiksi keraton. Maka makin meyakinkan Daendels bahwa suatu perjanjian baru tentang hukum dan ketertiban mutlak diperlukan. 

Maka pada 26 September 1808 kesepakatan hukum dan ketertiban ditandangani oleh dua patih dari Surakarta dan Yogyakarta di Klaten. Kerasnya ancaman hukuman yang ditetapkan mencerminkan kemustahilan hukum dan ketertiban dapat dilaksanakan di dalam kesemrawutan administratif pemerintahan, yang tidak memberi harapan sama sekali di keraton-keraton Jawa Tengah bagian selatan. 


Editor : Ihya Ulumuddin

BERITA POPULER
+
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network