Waduh! Rumah Panitera PN Bojonegoro Kena Eksekusi, Dikosongkan Paksa
BOJONEGORO, iNews.id - Proses eksekusi rumah dan tanah milik Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Bojonegoro, Rita Ariana, berlangsung nyaris ricuh, Rabu (29/10/2025). Eksekusi dilakukan berdasarkan penetapan Ketua PN Bojonegoro dalam perkara Nomor 11/Pdt.Eks.H.T/2024/PN Bjn, setelah putusan dinyatakan berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Ketua Panitera PN Bojonegoro Slamet Suripta hadir bersama dua juru sita, Jupriono dan Dadiek Setyo Hartono, sekitar pukul 10.15 WIB di rumah Rita di Desa Mojoranu. Mereka membacakan penetapan eksekusi di hadapan Rita, suaminya Marsudi dan kuasa hukumnya.
“Berdasar penetapan Ketua PN Bojonegoro, kami di sini akan melakukan eksekusi. Sebelum itu kami bacakan penetapan oleh Ketua Pengadilan,” kata Juru Sita Jupriono di lokasi dikutip dari iNews Bojonegoro, Rabu (29/10/2025).
Suasana memanas saat petugas mulai membacakan penetapan. Dari dalam rumah terdengar teriakan protes dari Marsudi, suami Rita, yang menilai pelaksanaan eksekusi terlalu terburu-buru.
“Masih ada upaya hukum kok satu hari disuruh pindah, ini hukum macam apa! Pak Prabowo tolong, ini pemaksaan!,” teriak Marsudi dengan nada tinggi.
Meski mendapat penolakan, eksekusi tetap dilanjutkan. Petugas mengeluarkan sejumlah perabot rumah tangga seperti kursi, lemari, kulkas, dan meja ke halaman rumah.
Kuasa hukum Rita, Afan Rahmad, berusaha menghentikan eksekusi dengan alasan perkara masih dalam proses perlawanan eksekusi (partij verzet). Namun ketua panitera menolak menghentikan proses.
“Silakan sampaikan langsung ke kantor PN Bojonegoro, saya tidak bisa menghentikan eksekusi,” kata Slamet Suripta.
Seusai eksekusi, kuasa hukum Rita Afan Rahmad menilai tindakan pengadilan terlalu dipaksakan dan tidak bijak. Dia menilai pemberitahuan pelaksanaan eksekusi dilakukan secara mendadak, padahal sidang perlawanan masih berjalan.
“Mengingat acara sidang hari ini untuk perlawanan eksekusi masih pada agenda kesimpulan, belum final. Maka pemberitahuan eksekusi ini terlalu mepet, terlalu dipaksakan,” ujarnya.
Afan juga menyoroti fakta Rita Ariana adalah pegawai PN Bojonegoro, sehingga menurutnya pengadilan seharusnya bersikap lebih bijak.
“Yang berhadapan saat ini pengadilan dengan orang pengadilan. Jadi saya harap Ketua PN Bojonegoro bisa mengambil sikap yang lebih arif,” ucapnya.
Dia juga menyebut telah mengajukan permohonan penundaan eksekusi berdasarkan Pasal 195 ayat (6) HIR, yang memberi wewenang Ketua PN untuk menunda pelaksanaan eksekusi bila masih ada perlawanan hukum.
Dikonfirmasi terpisah, Humas PN Bojonegoro Hakim Hario Purwohantoro menegaskan bahwa eksekusi telah sesuai prosedur dan sah secara hukum.
“Terkait Pasal 195 ayat (6) HIR itu mengatur derden verzet atau perlawanan pihak ketiga. Sedangkan yang dilakukan tereksekusi adalah partij verzet, diatur dalam Pasal 207 HIR. Terlebih perkara ini sudah berkekuatan hukum tetap dan sudah ada pemenang lelang atas objek eksekusi,” katanya.
Sementara itu, pemohon eksekusi Bachroin, asal Mojokerto, mengaku sebenarnya tidak menginginkan kasus ini berakhir dengan pengosongan rumah.
“Saya sebetulnya tidak ingin seperti ini, tetapi terpaksa. Sebagai tergugat saya menang sampai tingkat Peninjauan Kembali (PK) dan sudah inkracht,” ujarnya.
Sengketa ini berawal dari kerja sama bisnis tambang pasir antara Rita Ariana dan Sa’dullah, yang juga Panitera Pengganti PN Bojonegoro.
Sa’dullah menginvestasikan dana Rp250 juta dengan perjanjian keuntungan Rp5 juta per bulan. Namun, bisnis tersebut gagal, dan Rita tidak mampu mengembalikan modal.
Sebagai jaminan, Rita menyerahkan sertifikat tanah seluas 595 meter persegi tanpa perjanjian tertulis. Sa’dullah kemudian menggugat ke pengadilan pada 2018 dan memenangkan perkara tersebut.
Dalam putusan, Rita dinyatakan wanprestasi dan diwajibkan mengembalikan dana Rp250 juta. Sertifikat tanah kemudian dilelang melalui KPKNL, dan objek tersebut dimenangkan oleh Bachroin, yang kini menjadi pemilik sah berdasarkan SHM Nomor 702 Tahun 2025.
Kuasa hukum Rita, Moch Ichwan, menilai proses lelang tersebut janggal dan cacat hukum.
“Bagaimana bisa tanpa tanda tangan pemilik sertifikat bisa beralih nama dan dilelang begitu saja. Seharusnya pengadilan mengevaluasi perkara ini sejak awal, apalagi yang bersengketa adalah pegawainya sendiri,” kata Ichwan.
Editor: Donald Karouw