Sosok Pejuang TKR Soemitro, Ganti Nama Tasrib demi Perang Gerilya hingga Jadi Jenderal
MALANG, iNews.id – Nama Soemitro memang tak sepopuler Hamid Rusdi, sosok pejuang yang menggusur Belanda di Malang. Tetapi perannya di Tentara Keamanan Rakyat (TKR) juga tak kalah penting.
Saat itu, Soemitro ditugasi oleh Hamid Rusdi yang merupakan pimpinan pasukan di Malang, menjadi penanggung jawab di markas komando gerilyawan.
Pemerhati sejarah Eko Irawan menyatakan, pascabumi hangus Malang, pasukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan pejuang mundur ke luar kota. Peperangan di wilayah Kota Malang membuat pasukan itu harus mundur dan menyusun strategi kembali melawan Belanda.
Maka, untuk memantau kondisi Kota Malang dan pergerakan pasukan di sekitar Malang kota, markas komando ini dibangun di wilayah bernama Tawangsari, yang kini masuk wilayah Jalan Sumbersari Gang 3, Kelurahan Sumbersari, Lowokwaru, Kota Malang.
“Markas gerilya ini dulu di pinggi. Peta Belanda tahun 45 ini di pinggiran. Jadi yang mimpin di sini ini Pak Soemitro, Kapten Soemitro. Jadi dia ditugaskan Hamid Rusdi di sini pangkatnya kapten, dia mengkoordinasi seluruh gerakan pengawasan ke dalam kota,” ucap Eko Irawan.
Saat itu memang Hamid Roesdi membagi beberapa pasukan dan pejuang melakukan perlawanan ke Belanda. Nama Kapten Soemitro menjadi satu di antara beberapa komandan pasukan TKR di pos-pos markas komando yang dibangun para pejuang. Tugasnya juga mengkoordinir beberapa pos pasukan di beberapa wilayah di Malang atas perintah Hamid Roesdi.
“Waktu itu sebenarnya Pak Hamid Rusdi membagi wilayah wilayah, kantong-kantong. Di sini pak Sumitro, ada lagi di bawahnya Pak Sulam Samsul,” kata dia.
Pasukan pejuang ini biasanya berkoordinasi di markas komando pasukan yang terdekat dari wilayah kota, yakni di markas komando di Tawangsari. Para pasukan ini biasanya berkoordinasi melakukan serangan tiba-tiba ke pasukan Belanda dan tentara sekutu.
“Ketemunya di sini, ini daerah konsolidasi mengumpulkan para pejuang. Pertama untuk memantau kota, kedua pembalasan dari serangan, jadi setelah mundur, untuk membuktikan TNI ada dilakukan perang wingate atau perang gerilya ini,”kata pengelola Museum Reenactor Malang ini.
Guna memperlancar taktik perang gerilya ini, Soemitro bahkan harus menyamar dari para spionase dan mata-mata pasukan Belanda. Ia pun mengganti namanya menjadi Tasrib, demi keselamatan dan kelancaran aksi perang gerilya.
“Pak Soemitro itu nyamar, jadi Pak Tasrib. Markasnya di rumah warga, jadi enggak terlihat. Ya kayak masyarakat biasa semuanya, tapi mereka semua pegang senjata,” katanya.
Eko menambahkan, kedekatannya Soemitro dengan Hamid Roesdi membuatnya sempat diberikan kepercayaan meneruskan perjuangannya. Saat itu Hamid Roesdi tengah berkunjung ke markas komando gerilyawan di Tawangsari sebelum Maret 1949.
“Hamid Roesdi ke sini. Ada kalimat wes rek aku wes kesel (sudah rek saya sudah capek), teruskan perjuanganku kalimat yang disampaikan ke Soemitro dan pasukan. Kemudian Pak Soemitro ini yang neruskan perjuangan Hamid Roesdi,” tuturnya.
Tak berselang lama, Hamid Roesdi disebut gugur usai tertembak di wilayah yang kini masuk Wonokoyo, Kota Malang. Perjuangan arek-arek Malang mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan pun diteruskan oleh Soemitro yang kala itu berpangkat mayor.
Sedangkan karier Soemitro di militer melonjak usai berhasil menuntaskan misinya. Terakhir kali ia pernah menjabat sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) serta Wakil Panglima ABRI di masa pemerintahan orde baru.
"Karier awalnya di sini (pemimpin markas komando gerilyawan), di sini pangkatnya masih kapten. Terakhir dia pangkatnya jenderal," tuturnya.
Editor: Ihya Ulumuddin