Sosok Marsinah, Aktivis Buruh Pabrik asal Nganjuk yang Dianugerahi Pahlawan Nasional
JAKARTA, iNews.id - Penetapan Marsinah sebagai Pahlawan Nasional merupakan tonggak penting dalam sejarah perjuangan buruh dan hak asasi manusia di Indonesia. Gelar ini diberikan melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 116/TK Tahun 2025, bersamaan dengan sembilan tokoh lainnya.
Marsinah lahir 10 April 1969 dan wafat 8 Mei 1993, merupakan seorang buruh pabrik sekaligus aktivis yang vokal memperjuangkan hak-hak pekerja di masa pemerintahan Orde Baru (Orba).
Dia bekerja di PT Catur Putra Surya (CPS) yang berlokasi di Porong, Sidoarjo. Setelah menghilang selama tiga hari, Marsinah ditemukan dalam kondisi tak bernyawa di kawasan hutan Wilangan, dengan bekas penyiksaan yang parah.
Dihimpun dari sejumlah sumber, Senin (10/11/2025) menyebutkan, pada masa itu, militer memiliki peran besar dalam urusan ketenagakerjaan. Beberapa regulasi seperti SK Bakorstanas No.2/Satnas/XII/1990 dan keputusan Menteri Tenaga Kerja No.342/Men/1986 membuka jalan bagi aparat untuk masuk ke sektor industri dengan alasan menjaga ketertiban.
Dua orang yang terlibat dalam pemeriksaan jenazah Marsinah, yakni Haryono dari RSUD Nganjuk dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono dari RSUD dr. Soetomo menyimpulkan bahwa kematiannya disebabkan oleh kekerasan fisik yang berat.
Atas perjuangannya, Marsinah dianugerahi Penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun yang sama. Kasus kematiannya juga tercatat oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) sebagai kasus nomor 1773.
Marsinah merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, buah hati pasangan Sumini dan Mastin. Dia dibesarkan oleh nenek dan bibinya di Nglundo, Jawa Timur (Jatim).
Masa kecilnya diisi dengan kegiatan berdagang makanan ringan untuk membantu ekonomi keluarga. Dia menempuh pendidikan di SD Negeri Karangasem 189 dan SMP Negeri 5 Nganjuk, lalu melanjutkan ke Pondok Pesantren (Ponpes) Muhammadiyah sebelum akhirnya berhenti sekolah karena keterbatasan biaya.
Setelah gagal mendapatkan pekerjaan di kampung halamannya, Marsinah mencoba peruntungan di kota-kota besar seperti Surabaya, Mojokerto dan Gresik.
Dia mulai bekerja di pabrik sepatu Bata pada 1989, lalu pindah ke pabrik jam tangan Catur Putra Surya di Sidoarjo pada berikutnya. Di sana, dia dikenal sebagai sosok yang mewakili suara para pekerja.
Awal 1993, Gubernur Jatim Soelarso mengeluarkan surat edaran yang menganjurkan kenaikan gaji pokok sebesar 20%. Meski disambut baik oleh para pekerja, kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengusaha.
PT CPS pun membahas surat tersebut dengan penuh kegelisahan, hingga akhirnya para buruh memutuskan untuk melakukan aksi protes pada 3 dan 4 Mei 1993, menuntut kenaikan upah dari Rp1.700 menjadi Rp2.250 per hari.
Marsinah turut aktif dalam aksi tersebut, termasuk menghadiri rapat persiapan pada 2 Mei di Tanggulangin. Pada 3 Mei, para buruh menghentikan aktivitas kerja yang kemudian diintervensi oleh Koramil setempat.
Aksi berlanjut pada 4 Mei dengan mogok kerja total dan penyampaian 12 tuntutan, termasuk kenaikan tunjangan tetap sebesar Rp550 per hari.
Hingga 5 Mei, Marsinah masih terlibat dalam aksi dan negosiasi dengan pihak perusahaan. Dia menjadi salah satu dari 15 perwakilan buruh dalam perundingan.
Namun, siang hari itu, 13 buruh lainnya dibawa ke Kodim 0816/Sidoarjo dan dipaksa mengundurkan diri. Marsinah sempat mendatangi Kodim untuk mencari tahu nasib rekan-rekannya. Malam harinya, sekitar pukul 10, ia menghilang.
Selama tiga hari berikutnya, keberadaan Marsinah tidak diketahui. Pada 8 Mei 1993, dia ditemukan telah meninggal dunia.
Editor: Kurnia Illahi