get app
inews
Aa Text
Read Next : Kronologi Bus Wisatawan Bromo Kecelakaan di Probolinggo Tewaskan 6 Orang

SDN 2 Sariwani Probolinggo, Berawal dari Gudang Kentang Jadi Gudang Ilmu

Kamis, 16 November 2023 - 20:53:00 WIB
SDN 2 Sariwani Probolinggo, Berawal dari Gudang Kentang Jadi Gudang Ilmu
Sugeng Eka, Guru SDN Ngadisari II, Kecamatan Sukapura, Probolinggo, Jatim saat mengajar anak didiknya (Foto: Istimewa)

PROBOLINGGO, iNews.id – Sekolah dasar (SD) di Probolinggo ini memiliki sejarah panjang yang sangat menarik. Berawal dari gudang kentang yang diubah menjadi kelas dan tempat transfer ilmu dari guru ke siswa. 

Begitulah sejarah SDN Sariwani 2, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, di lereng pegunungan Bromo yang berdiri sejak 2000.

Sumardi, adalah salah satu guru yang mengawali mengajar di SDN Sariwani 2 pada 2003. Dia memilih praktik mengajar di sana untuk memenuhi persyaratan lulus kuliah. 

Meski hanya berjarak sekitar 14 kilometer dari tempat tinggalnya, medan menuju sekolah itu cukup berat dan berisiko. Sumardi harus mendaki bukit yang kanan-kirinya jurang terjal. Ia menjalaninya dengan ikhlas, bahkan betah mengajar di sana selama 20 tahun.

Di balik kondisi jalan berbahaya menuju sekolah dan cuaca ekstrem, Sariwani menyuguhkan keindahan alam menakjubkan. Sepanjang jalan menuju Dusun Sariwani dari Kecamatan Sukapura, tampak barisan bukit dan ladang pertanian tertata rapi. Inilah yang membuat

Sumardi selalu merasa terhibur dan bersemangat saat berangkat mengajar. Sosok yang masuk dalam buku Penggerak Perubahan: Kisah Inspiratif Transformasi Pembelajaran dari Indonesia yang diterbitkan Program Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI) itu menganggapnya rekreasi bonus mengajar.

Metode Kelas Rangkap

Awal Sumardi mengajar, gudang kentang yang digunakan untuk kelas sangatlah sederhana, beralas tanah. Saat musim hujan, gudang selalu bocor. Pembelajaran menjadi satu di gudang ini. 

Setiap kelas disekat menjadi dua karena keterbatasan ruangan. Guru bersahut-sahutan saat mengajar sehingga sangat mengganggu konsentrasi belajar siswa. Hal ini terjadi beberapa tahun hingga pada akhirnya ada tokoh masyarakat yang menghibahkan tanahnya untuk mendirikan bangunan sekolah lebih layak hingga saat ini.

Pada tahun 2018, Pemerintah Kabupaten Probolinggo melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Probolinggo menggandeng Program Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (Inovasi) mengembangkan pembelajaran dengan metode kelas rangkap (multigrade teaching). 

Metode ini menggabungkan siswa dua tingkat menjadi satu rombongan belajar. “Saya mendapatkan solusi atas permasalahan yang bertahun-tahun kami alami akibat kekurangan siswa, guru, dan kelas. Dengan metode kelas rangkap, kelas I bergabung dengan kelas II, kelas III dan IV, serta kelas V dengan kelas VI. Setiap kelas rangkap dipandu satu guru kelas sehingga lebih kondusif dan antarguru tidak ada lagi bersahut-sahutan dalam satu kelas,” tutur Sumardi.

Manfaat lain proses kelas rangkap ini adalah motivasi belajar siswa mulai tumbuh. Setiap kelas rangkap dipandu satu guru kelas sehingga lebih kondusif dan antarguru tidak ada lagi bersahut-sahutan dalam satu kelas.

Sumardi, Guru SDN Sariwani 2, Probolinggo mengatakan kelas mereka hanya bertiga atau berempat dan setelah digabung dengan tingkatan lain siswanya bertambah sehingga suasana kelas lebih ramai.

Terjadi tutor sebaya, yaitu adik kelas dibimbing kakak kelas saat belajar. Persahabatan dan kerja sama antarsiswa terjalin lebih akrab. Kemajuan ini tentu saja menggembirakan para guru di SDN Sariwani 2 sehingga pembelajaran menjadi lebih menyenangkan dan siswa lebih semangat bersekolah.

Pada tahun 2019, sekolah bekerja sama dengan Inovasi menggelar kegiatan pengasuhan anak (parenting) untuk semua orangtua siswa. Ini agar orangtua memahami pentingnya sekolah dan tidak lagi mengajak anak pergi sehingga anak bolos sekolah.

“Mayoritas masyarakat Sariwani bermata pencarian petani sehingga berharap anak-anak meneruskan usahanya. Sekolah tinggi dianggap tidak penting untuk menjadi petani. Selain itu, warga Sariwani yang merupakan suku Tengger rata-rata hanya memiliki satu anak. Ini karena besarnya biaya upacara adat untuk setiap periode kehidupan. Mulai selamatan hamil, melahirkan, ulang tahun, sunatan, hingga menikah, mereka butuh biaya ratusan juta setiap upacara adat,” ujar Sumardi.

Karena anak hanya satu, mereka tak tega jika kemudian harus menitipkan anaknya di kerabat atau kos saat menempuh jenjang SMA yang jarak sekolahnya jauh. Kegiatan pengasuhan anak ini berhasil mengubah pola pikir orang tua. 

“Parenting membuka mata kami tentang pentingnya pendidikan dan betapa meruginya jika anak-anak ketinggalan pelajaran meski hanya satu hari,” kata Joko, orangtua Alga siswa kelas V sekaligus Ketua Komite SDN Sariwani 2.

IKM Mendukung Kelas Rangkap

Kurikulum Merdeka hadir dengan salah satu model implementasi berupa fase-fase yang disesuaikan dengan usia siswa. Fase A untuk siswa kelas I dan II, fase B kelas III dan IV, serta fase C kelas V dan VI. Tujuan pemberlakuan fase ini agar capaian pembelajaran yang belum tuntas di kelas I dapat dilanjutkan di kelas II, menyesuaikan dengan kemampuan siswa yang berbeda-beda.

Hal ini sejatinya telah dilaksanakan Sumardi sejak 2018 saat awal kelas rangkap diberlakukan. “Penggunaan fase-fase di Kurikulum Merdeka membuat kami semakin percaya diri bahwa kami mampu mengimplementasikannya. Faktanya, kami telah menerapkannya lebih dulu,” ungkap Sumardi.

Berharap Kurikulum Khusus

Saat pandemi, pembelajaran dilakukan secara daring dan luring. Namun, penyampaian secara luring diprioritaskan sebab materi pembelajaran dapat tersampaikan langsung. 

Sebagai Kepala SDN Ngadisari II, Sukapura, Probolinggo, Jawa Timur, Marsini Astuti memutuskan melakukan metode pembelajaran berbasis komunitas.

Dalam proses ini, guru turun langsung ke lapangan dan mengunjungi rumah salah satu siswa untuk mengadakan proses belajar mengajar. Siswa-siswa SDN Ngadisari II yang rumahnya berdekatan di satu lokasi dapat belajar bersama meski berbeda tingkat kelas.

Salah seorang guru, Sugeng Eka, menyatakan, metode kelas rangkap sangat efektif dalam pembelajaran berbasis komunitas seperti ini. 

“Dalam satu hari, saya ada dua kali kunjungan. Setiap pembelajaran berlangsung 2-2,5 jam dengan beragam jenjang siswa dalam setiap kelompok. Maka, metode kelas rangkap ini benar-benar membantu saya mengajar saat pandemi,” tuturnya.

Menurut dia, pola seperti ini memunculkan nilai-nilai kerja sama tim yang baik. Terjadinya asah, asih, asuh antara kakak dan adik kelas dalam satu kelompok dapat menjalin pola interaksi sosial yang intens sesama siswa. 

Saat situasi kembali normal, penerapan kelas rangkap terasa semakin efektif karena pembelajaran sudah sepenuhnya luring di sekolah. Sugeng menyebutkan, terjadi peningkatan literasi, numerasi, dan pendidikan karakter siswa hingga 30 persen. 

“Dulu literasi kurang karena keterbatasan buku. Setelah menerapkan kelas rangkap, kami mendapatkan pendampingan. Kami mendapat bantuan buku, ada buku berlevel dan big book. Guru dituntut menciptakan kelas literat,” kata pria yang juga merangkap tugas sebagai guru olahraga itu.

Di sekolahnya, siswa tak perlu harus ke perpustakaan untuk membaca. Perpustakaan mini yang biasa disebut pojok baca di kelas meningkatkan kemampuan literasi, yang secara otomatis mendongkrak kemampuan numerasi siswa. 

Anak dapat lebih mudah memahami kalimat-kalimat matematika. Sementara pembentukan karakter baik terbentuk dalam interaksi sosial di sekolah.

Sugeng mencontohkan siswa bernama Alen yang saat kelas IV dikenal sebagai anak paling pendiam. Ia tidak berani mengungkapkan pendapatnya sama sekali. Ketika kelas rangkap, guru diminta menerapkan pembelajaran berfokus pada siswa (student center). 

Ternyata semua kegiatan dan interaksi tersebut mampu mengubah Alen. Ketika presentasi, Alen sudah berani berpendapat. 

“Dia berani bertanya hal yang tidak dipahami dan bisa mengeksplor dirinya. Imbasnya, nilai Alen meningkat tajam,” tutur Sugeng.

Pelaksanaan kelas rangkap terus berkembang dan berjalan semakin lancar meski bukan berarti tidak menemukan hambatan. Mutu siswa yang berbeda membuat hasilnya juga bisa berbeda. ”Namun, kami sekarang semakin tahu celah untuk mengatasi segala masalah yang muncul,” kata Sugeng.

Sugeng melihat anak didiknya lebih antusias mengikuti pelajaran dan aktif terlibat dalam kegiatan kelas. Suasana kelas yang mulanya sepi menjadi lebih ramai.

Meski yakin perundungan hampir tak akan terjadi jika melihat karakter siswa, guru tetap melakukan tindakan preventif dengan membuat kontrak belajar. Sekolah meminta para siswa saling menyayangi sesama teman dan bertanggung jawab terhadap kelancaran kelas.

Banyak kegiatan yang menuntut pembentukan kelompok di kelas rangkap. Untuk hal ini, Sugeng betul-betul memperhatikan pemerataan gender. Sebisa mungkin di dalam satu kelompok, jumlah siswa laki-laki dan perempuan sama.

Banyak hal positif dari kelas rangkap, tetapi Sugeng menyebutkan tetap ada kelemahan. Untuk mengajar kelas rangkap, guru harus meluangkan waktu lebih untuk menyusun perangkat pembelajaran. 

Sugeng berharap akan ada kurikulum khusus yang mengatur kelas rangkap yang dapat menjadi acuan. Pihak sekolah memodifikasi sesuai dengan kondisi sekolah dan siswa. 

Editor: Kastolani Marzuki

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya

iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut