Misteri Kematian Sultan Yogya usai Bakar Dokumen Warisan Ayah Pangeran Diponegoro

SURABAYA, iNews.id - Friksi di internal Keraton Yogyakarta mengantarkan kematian tragis Sultan Hamengkubuwono IV. Konon setelah pembakaran dokumen penting yang diminta dari Pangeran Diponegoro, sang Sultan Yogya itu sakit misterius.
Sang sultan itu meninggal pada 6 Desember 1822 di usia yang masih sangat muda yakni 18 tahun. Dia meninggal sekitar pukul 15.30 WIB, sekembalinya Sultan Hamengkubuwono IV dari Tegalrejo, kediaman Pangeran Diponegoro.
Saat itu sebenarnya sang sultan tengah beristirahat usai perjalanan jauh. Tampak Sultan Yogya mendadak tewas saat makan. Tubuhnya mendadak membengkak. Menurut dugaan beberapa orang di masa itu, bahwa ia diracun, dikutip dari Peter Carey "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro: 1785-1855".
Tidak ada sumber lain untuk mengonfirmasi dugaan ini. Tubuhnya yang gemuk, kegemarannya makan makanan berbumbu serta sikapnya yang selalu memaksakan diri naik ke sadel kuda, telah memberinya serangan jantung pada usia yang masih sangat belia, 18 tahun. Gaya hidupnya yang memperturutkan hasrat hati telah membawanya lebih cepat ke liang kubur.
Dia adalah raja pertama yang menjadi korban gaya hidup kebarat-baratan yang melanda keraton-keraton Jawa selatan-tengah pasca-1816. Karenanya di Keraton Yogya ia pun tidak sendirian.
Putranya sendiri yang kelak akan memerintah selama dua dekade sebagai Hamengkubuwono V, konon sudah terkena penyakit sifilis pada usia 20 tahun. Semua itu akibat cara hidup tak terkendali, gemar minum-minuman keras dan main perempuan, yang sebagian didorong oleh para saudagar dan pemasok barang orang Eropa di Yogya yang kurang bermoral.
Setelah kematian misterius Sultan Hamengkubuwono IV, Pangeran Diponegoro konon baru tahu dokumen rahasia warisan sang ayah Sultan Hamengkubuwono III telah dibakar. Pangeran Diponegoro pun merasa marah begitu besar, hingga kemudian mempercepat penolakannya untuk terus melakukan tugas-tugasnya dengan baik sebagai wali dan bermuara pada putusnya hubungan secara total dengan keraton.
Editor: Ihya Ulumuddin