Kubis Diduga Berpengawet Semen Putih Resahkan Warga Magetan

MAGETAN, iNews.id – Warga Magetan, Jawa Timur diresahkan dengan beredarnya sayur kubis berlapis serbuk menyerupai semen putih di pasar tradisonal.

Puluhan ton sayur kubis tersebut ditemukan tersebar di lapak-lapak sayur para pedagang di Pasar Sayur Kota Magetan. Dilihat secara acak, sayur kubis tersebut sangat segar dan utuh, namun setelah diraba dan dikupas bagian terluarnya tampak bahan mirip adonan semen yang melapisinya.

Temuan kubis mengandung semen putih itu membuat pengunjung pasar dan pedagang resah. Mereka tidak tahu jika kubis itu diberi pengawet semen putih karena saat diturunkan dari truk tidak begitu jelas keberadaannya karena aktivitas bongkar muat sayuran dilakukan pada malam hari.

“Kami tidak tahu pasti itu (serbuk putih) bahan apa, tapi sekilas kayak semen putih. Mereka (broker) sayuran ngakunya dari Malang,” kata salah seorang pedagang sayur, Sumi, Senin (19/3/2018).

Sumi mengaku baru melihat sangat jelas serbuk putih mirip semen itu pada pagi hari. Namun, Sumi tidak bisa memastikan bahan apa yang menempel di sayuran yang dibelinya seharga Rp5.000 per kilogram tersebut.

Menurut Sumi, para pedagang banyak yang tergiur membeli kubis dari luar daerah karena harga yang ditawarkan lebih murah dan lebih awet karena tidak cepat busuk.

Dari pengakuan broker saat ditanya oleh beberapa pedagang, bahan tersebut untuk menjaga kualitas sayur saat dalam perjalanan. “Pedagang tetap membeli selain harganya murah juga kualitasnya tampak masih segar dan baik,” ucapnya.

Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan dan Ketahanan Pangan (TPHPKP) Kabupaten Magetan, Edy Suseno mengaku belum mendapatkan laporan mengenai temuan
sayuran kubis yang mengandung semen putih, termasuk dampak yang ditimbulkan bagi warga bila mengonsumsi sayuran tersebut.

“Sejauh ini belum ada laporan, tapi kami akan cek ke lapangan untuk memastikan kandungan apa yang ada di kubis itu,” katanya.

Edy menegaskan, metode pengawetan dengan melapisi semen putih di kubis tidak pernah disarankan kepada para petani di wilayahnya.

Editor: Kastolani Marzuki