Kisah Romantis Raden Wijaya, Bercumbu dengan Selir Cantik dalam Pura

SURABAYA, iNews.id - Raja Majapahit Raden Wijaya ternyata sosok yang romantis terhadap para istrinya. Saking romantisnya, raja pertama Majapahit ini pernah bercumbu dengan selirnya di dalam sebuah pura.
Buku "Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit", yang ditulis Slamet Muljana mengupas kisah asmara sang raja dengan para selirnya, termasuk intrik dan persaingan di antaranya mereka.
Berdasarkan catatan Slamet, selain memiliki permaisuri Tribhuwana, Raden Wijaya juga memiliki empat selir. Persaingan antarselir pun berlangsung panas.
Kidung Panji Wijayakrama menyebutkan salah satu selir yang ikut memanaskan persaingan yakni Dyah Dara Petak. Perempuan bergelar Indreswari ini berlomba dengan para selir untuk memperebutkan hati sang raja.
Suatu ketika Dyah Dara Petak diterima dalam pura dan bercumbu dengan sang raja Raden Wijaya di dalam pura, dia disebut Sri Tinuheng Pura. Sudah pasti bahwa Dyah Dara Petak memiliki persaingan dengan putri Gayatri yang terkenal sebagai kekasih Sri Baginda Raden Wijaya, putri bungsu raja Kertanegara dari Kerajaan Singasari.
Tetapi putri Tribhuwana yang telah dikawin Raden Wijaya lebih dahulu. Persaingan itu pun juga tampak pada Dyah Dara Petak, putri Melayu, yang lebih pandai mengambil hati raja Kertarajasa. Akibatnya Dyah Dara Petak alias Indreswari dijadikan istri tertua, meski status sebenarnya yakni selir.
Dari sudut ini, dapat dipahami mengapa Raden Kala Gemet dapat naik takhta Kerajaan Majapahit, meksipun menurut Kidung Rangga Lawe, baik Tribuwana maupun Gayatri masing-masing mempunyai putra yakni Kuda Amrata dan Cakradakusuma.
Persaingan antara istri raja untuk memperoleh hak atas takhta bagi keturunannya juga dikenal dalam Wiracarita Ramayana antara istri raja Dasarata dari Ayodya, Dewi Kekayi yang menang dalam persaingan ini. Akibatnya, sang Rama dan Laksmana tidak mendapat hak atas tahta kerajaan, bahkan dibuang ke hutan untuk menghindarkan pemberontakan. Kuda Amrata dan Cakradakusuma, menurut Kidung Rangga Lawe, masing-masing dijadikan pangeran (raja) Kahuripan dan Daha.
Pada Negarakertagama pupuh 48/1, Raja Kertarajasa atau Raden Wijaya meninggalkan seorang putra dan dua orang putri. Putranya bernama Jayanegara. Sedangkan nama dua putrinya tidak disebutkan. Hanya dinyatakan bahwa mereka lahir dari Prawararajapthny Anupama, yang satu menjadi Rani Jiwana atau Rani Kahuripan, yang lain Rani Daha atau Kediri.
Pada kitab pararaton, Rani Kahuripan bergelar Bhreng Kahuripan, Rani Daha bergelar Bhreng Daha. Bhreng Kahuripan dalam piagam disebut Tribhuwana Tunggadewi Jayawisnuwardhani, sedangkan di Negarakertagama pupuh 4, rani Daha disebut Rajadewi Maharaja.
Suaminya yakni Raja Wengker bernama Wijayarajasa. Jelas sekali bahwa Rani Kahuripan kawin dengan Sri Kertawardhana. Dari perwakinan itu lahir Prabu Hayam Wuruk, baik Rani Daha maupun Rani Kahuripan masih hidup ketika Prapanca menjadi pembesar urusan agama Buddha di Kerajaan Majapahit.
Editor: Ihya Ulumuddin