Kisah Pangeran Diposono, Kerahkan Perampok hingga Dukun untuk Lawan Belanda

SURABAYA, iNews.id - Kisah Pangeran Diposono saat berperang melawan Belanda menarik diulas. Pangeran Diposono merupakan salah satu kerabat Sultan Hamengkubuwono IV yang gigih berjuang melawan Belanda.
Di masa itu, perlawanan kepada Belanda kembali dilakukan oleh rakyat Jawa bagian tengah selatan semasa Pangeran Diponegoro. Perlawanan itu menjadi pemantik perlawanan besar melalui Perang Jawa yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro.
Salah satu perlawanan yang juga menjadi perhatian Belanda yakni pemberontakan yang dilakukan oleh Pangeran Diposono. Sosok Pangeran Diposono dideskripsikan sebagai pribadi yang terkena polio.
Konon Pangeran Diposono juga menderita semacam penyakit jiwa sejak mudanya. Namun, Pangeran Diposono juga memiliki kelebihan yakni bisa kontak dengan makhluk halus.
Hal ini pula yang coba dimanfaatkannya untuk mengusir Belanda dan Tionghoa, serta menggantikan Sultan Hamengkubuwono IV untuk menduduki takhtanya, sebagaimana dikutip dari "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro: 1785-1855". Tetapi dengan keterbatasannya seperti itu dia memberikan perlawanan kepada Belanda dan kongsi dagang Tionghoa yang berkomplot dengan Belanda.
Setelah merekrut bantuan dari berbagai kepala (gembong) rampok di Kedu dan seorang dukun perempuan, Pangeran Diposono merencanakan dua pemberontakan yang dilakukan serentak. Satu di selatan Kedu, di sekitar Bendo, sebuah desa perdikan yang diperuntukkan bagi para ulama, dan satu lagi di selatan Yogya, di Gading Temahan dan Lipuro.
Tempat yang terakhir ini merupakan tempat yang sangat penting artinya bagi yang berhak atas tahta Mataram. Rencana Diposono yakni memancing bala tentara Yogya untuk keluar saat memulai pemberontakan di Kedu, dan kemudian menyerbu ke ibu kota kesultanan.
Namun, strategi ini gagal. Dukungan dari pejabat-pejabat pribumi sangat terbatas dan Belanda mampu mengatasi gerakan tanggal 27-28 Januari 1822 itu di Kedu tanpa perlu mendatangkan bala bantuan dari Yogya. Pemberontakan Diposono di Yogya sendiri kemudian dengan cepat dapat dipadamkan di sekitar Lipuro di awal Februari.
Pangeran pemberontak itu dibawa ke Yogyakarta untuk diadili dan kemudian dijatuhi hukuman mati dengan cara dicekik, meski hukuman itu akhirnya diubah oleh Van der Capellen dengan pengasingan seumur hidup di Ambon. Pemberontakan Pangeran Diposono pada Januari-Februari 1822 ini merupakan gangguan yang sangat serius bagi takhta Sultan Hamengku Buwono IV.
Peristiwa itu menandai suatu pemberontakan tradisional oleh seorang kerabat Sultan sendiri terhadap takhta kerajaan. Pengerahan para pemimpin bandit adalah cara tipikal menggalang dukungan dari anggota elite keraton. Namun, terlepas dari elemen-elemen tradisional ini, besarnya kemarahan rakyat pada umumnya terhadap orang Eropa dan Tionghoa merupakan pertanda penting pada masa itu.
Editor: Ihya Ulumuddin