get app
inews
Aa Text
Read Next : Maling Burung di Jombang Ditangkap saat Beraksi, Diamuk Warga hingga Nyaris Tewas

Kisah Ki Boncolono Kediri, Maling Sakti yang Ditakuti Kompeni Belanda 

Senin, 27 Desember 2021 - 20:00:00 WIB
Kisah Ki Boncolono Kediri, Maling Sakti yang Ditakuti Kompeni Belanda 
Salah satu panel relief di monumen Simpang Lima Gumul (SLG) Kabupaten Kediri yang menggambarkan Ki Boncolono sedang berhadapan dengan Kompeni Belanda. (Foto:isimewa)

SURABAYA, iNews.id - Tindakan kompeni Belanda memeras rakyat pribumi membuat Ki Boncolono Kediri marah. Gerahamnya gemeretak melihat rakyat dipaksa menanam  kopi, teh, tembakau, cengkeh. Komoditi yang laris di pasar Eropa, tempat Belabda sedang berusaha memulihkan kas negara yang banyak terkuras untuk biaya Perang Jawa (1825-1830).

Di masa itu, rakyat kehilangan kemerdekaan bercocok tanam di tanahnya sendiri. Sebab, kompeni mengawasi seluruh gerak-geriknya. Rakyat yang sudah tidak berdaya juga masih dibebani kewajiban menyetor pajak kepala. 

Paling menyedihkan lagi saat panen tiba. Rakyat tidak memiliki hak atas hasil tanamannya sendiri. Sebab kompeni yang mengatur seluruh pembagiannya.  

Situasi itu membuat Ki Boncolono geram. Dadanya serasa mau pecah karena amarah yang membuncah. Diam-diam dia bergerak menjarahi harta kekayaan milik kompeni dan antek-anteknya. "Ki Boncolono adalah pencuri yang ambigu dalam tindak tanduk susilanya, tetapi sakti mandraguna," tulis peneliti asing George Quinn dalam buku kisah “Wali Berandal Tanah Jawa”.  

Ki Boncolono tidak seutuhnya menikmati hasil jarahannya. Sebagian besar harta curian itu ia bagi-bagikan kepada petani, rakyat jelata, kaum kromo yang ditindas kumpeni Belanda. Boncolono mempraktikkan gaya bandit budiman Berandal Lokajaya yang ada pada masa akhir Kerajaan Majapahit. Sebagian masyarakat Kediri meyakini Ki Boncolono tak lain Maling Gentiri.

Dalam “Wali Berandal Tanah Jawa” tertulis, Maling Gentiri memiliki saudara tua yang bernama Maling Kapa. Dua bersaudara ini merupakan maling sakti yang selalu beroperasi di malam hari. Keduanya adalah murid Sunan Ngerang, seorang ulama besar di kawasan pesisir Juwana, Jawa Tengah. Mereka mengunduh ilmu kesaktian dari gurunya, dan hanya menyasar orang-orang kaya yang zalim.

"Sebagai hamba agama yang saleh, tentu saja hasil perampokan mereka dibagikan kepada fakir miskin dan orang yang sedang mengalami kesusahan," demikian yang tertulis dalam  “Wali Berandal Tanah Jawa”. Di Kediri, ulah Ki Boncolono atau Maling Gentiri membuat kaki tangan kompeni kelabakan. Mereka tak menyangka bakal mendapat gangguan yang bertubi-tubi.

Apalagi saat Tumenggung Mojoroto dan Tumenggung Poncolono beserta murid-muridnya menyatakan menjadi sekutu Ki Boncolono. Aksi penjarahan semakin menjadi-jadi. “Belanda pun marah dan memerintahkan antek-anteknya mengejar hidup atau mati," demikian cerita tutur yang beredar.

Boncolono harus ditangkap hidup atau mati. Begitu tekad antek-antek kumpeni Belanda. Namun meringkus Boncolono bukan perkara mudah. Boncolono dicintai rakyat. Saat terkepung, pencuri budiman tersebut selalu berhasil meloloskan diri. Konon, cukup mengandalkan seberkas cahaya, dia bisa menyusup ke dalam bangunan melalui lobang sekecil apa pun.  

Begitu juga saat terkepung. Cukup merapatkan diri ke tembok, tiang,  atau pohon di dekatnya, Boncolono akan lenyap dalam sekejap. Boncolono konon juga kebal senjata. Dia seperti tidak merasakan peluru-peluru yang memberondong tubuhnya. Kalau pun ambruk, ia akan hidup lagi, sehat seperti sedia kala. 

"Dia bisa hidup lagi ketika tubuhnya menyentuh tanah," begitu yang tertulis dalam “Wali Berandal Tanah Jawa”.

Setiap kesaktian selalu ada pengapesannya. Ada masa nahasnya. Ada titik lemahnya. Kumpeni terus memutar otak menelusuri kelemahan Boncolono. Desas-desus yang mereka dengar, Boncolono menguasai ilmu pancasona atau rawa rontek. Sebuah ilmu kuno yang pemiliknya sulit menemui ajal. Setiap mati akan hidup kembali selama anggota tubuhnya menyentuh tanah.

Meski tubuhnya dicincang, pemilik ilmu rawa rontek akan bangkit kembali selama  bagian badan yang terpotong bersentuhan satu sama lain. Kumpeni Belanda memutuskan menggunakan kekuatan uangnya. Sayembara digelar.  Kepada siapa saja yang berhasil membekuk Boncolono hidup atau mati, kumpeni akan memberi imbalan besar.    

Sayembara menarik perhatian sejumlah pendekar pribumi. Mereka mengetahui rahasia kelemahan ilmu Ki Boncolono dan siap menukar dengan imbalan uang besar. Kompeni bergerak melakukan penggerebekan. Ki Boncolono yang dalam keadaan terkepung, akhirnya berhasil diringkus. Atas bocoran rahasia dari pribumi peserta sayembara, kompeni Belanda memotong tubuh Ki Boncolono menjadi dua bagian.

Kesaktian rawa rontek tidak akan berfungsi selama tubuh yang terpotong tersebut, dipisahkan oleh sungai. Dalam catatannya, George Quinn, penulis “Wali Berandal Tanah Jawa” mendatangi bukit Maskumambang. Sebuah kawasan perbukitan bukit yang cukup tinggi, yang berada di wilayah Kecamatan Mojoroto, ujung barat Kota Kediri. Kawasan ini berlokasi di sebelah barat Sungai Brantas.

Di puncak bukit yang berketinggian sekitar 350 meter itu, kompeni Belanda konon memakamkan jasad Boncolono. Jasad tanpa kepala. “Makam Ki Boncolono terbujur dari utara ke selatan, bersebelahan dengan makam Tumenggung Poncolono yang diduga adik Boncolono dan Tumenggung Mojoroto, penghuni awal (cikal bakal) kawasan Kediri,” tulis George Quinn.

Pada tahun 2004 situs makam Ki Boncolono di Maskumambang sempat dipugar.  Renovasi bangunan diikuti dengan pembetonan sebanyak 555 anak tangga menuju puncak bukit Maskumambang. Dalam buku “Wali Berandal Tanah Jawa”, pemugaran dilakukan setelah keturunan keluarga besar Boncolono menyerahkan situs Boncolono  kepada Pemkot Kediri.

Penyerahan ditandai dengan prasasti di gapura makam Boncolono yang ditandatangani oleh kepala keluarga besar keturunan Boncolono, Japto Soerjosoemarno. Japto merupakan pimpinan tertinggi ormas Pemuda Pancasila (PP). “Pak Japto adalah keturunan Boncolono angkatan ketujuh”. Lalu di mana kompeni Belanda menguburkan kepala Ki Boncolono?.

Di sebuah tempat yang kemudian dikenal bernama punden (makam) Ringin Sirah, Kota Kediri, Kompeni Belanda konon menguburkan kepala Ki Boncolono. Nama Ringin Sirah merujuk pada pohon beringin tua yang tumbuh di sana. Lokasi tersebut berada di timur Sungai Brantas, posisinya di perempatan jalan antara Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Joyo Boyo Kota Kediri.

Peneliti asing George Quinn mendapatkan asumsi dari sejumlah warga Kediri yang berada di punden Ringin Sirah. Bahwa pemisahan tubuh dan kepala Ki Boncolono di sisi Sungai Brantas yang berseberangan merupakan simbol pemisahan pemimpin dengan rakyatnya.

Pemisahan antara kawula dan gustinya. "Dengan cara begitu mereka melumpuhkan rakyat Indonesia. Diceraikannya pemimpin dari rakyat dengan tujuan untuk menjajah kami dan merampok kami," katanya.

Editor: Ihya Ulumuddin

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya

iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut