Kisah Kesultanan Yogyakarta Jatuh Miskin gegara Operasi Militer Inggris
SURABAYA, iNews.id - Strategi Inggris membuat Kesultanan Yogyakarta di masa kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono II jatuh miskin dan terasingkan. Gegara taktik operasi militer Inggris pula, Keraton Yogyakarta akhirnya terbagi menjadi dua.
Dikisahkan pada buku "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855" tulisan Peter Carey, aneksasi kawasan mancanagara timur Keraton Yogyakarta sebagai upaya upah operasi militer Inggris yang belum lama berselang membuat wilayah keraton terbelah.
Thomas Stamford Raffles mengumumkan penunjukan Notokusumo sebagai pemangku kepangeranan tersendiri dengan gelar Pakualam, dan pembentukan korps Pakualaman yang terdiri atas 100 serdadu barisan berkuda.
Pendirian Pakualaman ini menandai pembagian Yogyakarta secara politis, suatu isyarat lain bagi penghinaan terhadap kesultanan Yogyakarta. Apalagi, Pakualam I mempunyai hubungan khusus dengan Inggris, suatu kenyataan yang dicatat dalam sumber-sumber di Jawa. Bahkan di situ Pakualam disebut sebagai miji atau pejabat bawahan langsung dan kadang sebagai pelayan penguasa kolonial.
Pembagian wilayah ini menjadi kian melemahkan keraton Yogyakarta. Apalagi sebelumnya seisi keraton dijarah dan dibakar sesaat sebelum Raffles meninggalkan Yogya pada pagi hari 23 Juni, sebelum Sultan Hamengku Buwono III kembali mendiami keraton.
Berkat penjarahan dari militer Inggris, membuat keraton Yogyakarta kian menderita dan jatuh miskin. Pada 3 Juli saat bala tentara Inggris meninggalkan Yogya, Sultan Sepuh atau Sultan Hamengku Buwono II, dua putranya Mangkudinigrat dan Mertosono, serta seorang bupati, juga diboyong ke Semarang.
Perjalanan tahap pertama menuju pengasingan dijalani oleh Sultan Sepuh. Di kapal fregat Inggris yang membawa mereka juga turut dibawa 68 peti berisi uang sebanyak 408.414 dolar Spanyol dalam bentuk koin perak dan tembaga. Harta itu merupakan kekayaan dan harta benda Keraton Yogya yang dijarah.
Jadi kekayaan Sultan Sepuh selama 18 tahun berkuasa ikut dibawa bersamanya menuju pengasingan. Bedanya harta itu bukan lagi miliknya yang dapat dipakai bersenang-senang. Peluh kaum petani Jawa tanpa nama itulah yang sekarang menjadi barang rampasan penakluk asing yang menang perang.
Editor: Ihya Ulumuddin