Cerita Mencekam Tahun 70-an di Jawa, Kepala Bocah Dipakai Tumbal Jembatan

BLITAR, iNews.id - Cerita mencekam pernah berkembang luas di wilayah Jawa Timur (Jatim) dan Jawa Tengah (Jateng) sekitar tahun 70-90-an. Saat itu beredar di masyarakat, bahwa banyak kepala bocah yang dijadikan tumbal pembangunan proyek jembatan atau gedung.
Di sebagian masyarakat Jawa, khususnya di wilayah eks karesidenan Kediri dan sekitarnya, cerita itu hingga kini masih bertahan. Sebagian warga bahkan mempercayai kebenarannya. “Setiap yang tumbuh di tahun itu, hampir pasti pernah mendengar cerita itu,” tutur Mistur (68) warga Kabupaten Blitar.
Entah mendapat informasi dari mana. Banyak orang tua di Kediri dan sekitarnya yang tiba-tiba menakut-nakuti anak-anaknya dengan cerita penculikan. Setiap bocah diwanti-wanti untuk tidak bermain jauh-jauh dari rumah.
Setiap pulang sekolah diminta untuk langsung pulang ke rumah. Begitu juga selama perjalanan pulang. Mereka diimbau tetap bersama-sama dengan teman-temanya. Intinya tidak berjalan sendirian.
Sebab situasi sepi akan memudahkan para penculik bocah melancarkan aksinya. Para penculik digambarkan sebagai sekelompok orang berkendara mobil jenis Jeep, van atau VW Combi.
“Mereka menamai kelompoknya Duyung dengan simbol gunting dan golok,” demikian dikutip buku Kisah Tanah Jawa (2018).
Kelompok penculik itu beroperasi di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada akhir tahun 1970-an itu bersamaan dengan adanya sebuah proyek besar di Jawa Tengah.
Sebuah waduk yang membendung sungai Bengawan Solo, sedang memulai proses pembangunan. Kabar yang berkembang. Untuk kekokohan konstruksi, penanggung jawab proyek konon membutuhkan tumbal nyawa manusia.
Yang dibutuhkan yakni nyawa anak-anak yang berusia tidak lebih dari 13 tahun dan belum akil baligh. Syarat yang menyeramkan itu merupakan jalan pintas yang datang dari paranormal hitam.
“Mereka menyerahkan sepenuhnya pencarian tumbal anak-anak kepada pihak ketiga”.
Para penculik anak-anak pun bergentayangan di sekitaran wilayah Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Diceritakan oleh para orang tua kepada anak-anaknya betapa sadisnya modus yang dipakai para penculik.
Anak-anak yang sedang bermain atau dalam perjalanan pulang sekolah sendirian, tiba-tiba dijerat. Si bocah korban penculikan dimasukkan ke dalam Jeep dengan posisi dibekap dan dibawa ke tempat sepi.
Anak-anak itu lantas digorok lehernya serta dicongkel kedua matanya. Tubuh bocah yang sudah tak berkepala itu kemudian dibuang ke hutan atau jurang yang dalam, dengan posisi tangan terikat.
“Sementara kepalanya ditaruh di dalam karung untuk kemudian diserahkan kepada pihak pertama yang menyewa mereka untuk digunakan sebagai penguat bangunan”.
Kabar yang berkembang, sepasang mata bocah korban penculikan itu dipakai sebagai tumbal penglarisan. Konon yang sering memakai syarat penglaris ini yakni para pedagang es dawet.
Sedangkan kepala bocah korban penculikan selanjutnya ditanam pada bagian pondasi bangunan, ditimbun dan langsung dicor sesuai dengan perhitungan hari pasaran.
Perjanjian tumbal kepala anak-anak itu berlaku selama 100 tahun sejak bangunan itu difungsikan. Apabila masa kontrak habis, diyakini akan terjadi peristiwa kecelakaan di luar nalar.
Di antaranya, saat musim kemarau di mana air sedang dangkal. Tiba-tiba terjadi insiden orang tewas tenggelam. Korban tenggelam sebagian besar anak-anak yang sedang mencari ikan.
Peristiwa yang sepintas tak masuk akal itu diyakini akan terus berkelanjutan. Sejauh apa kebenaran kisah mengerikan yang berkembang pada era 70-90-an itu, wallahualam.
Editor: Ihya Ulumuddin