Soal Gelandangan, Guru Besar Ini Sarankan Risma Lihat 'Desaku Menanti' di Malang
MALANG, iNews.id - Aksi blusukan Menteri Sosial Tri Rismaharini menemui gelandangan (tunawisma) di DKI Jakarta menuai kritik guru besar Universitas Islam Malang (Uisma) Mas'ud Said. Menurutnya, cara penananganan sosial tersebut tidak efektif karena hanya dilakukan secara parsial.
Mas'ud mengatakan, penanganan masalah sosial, terutama Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) harus terintegerasi dan terukur. Selain karena jumlahnya banyak, problem mereka juga bermacam-macam.
"Kalau setiap hari menemui satu per satu tunawisma, lalu jumlahnya tunawisma se Indonesia berapa. Kalau jumlah puluhan ribu, maka butuh puluhan ribu hari untuk melakukan penanganan," kata mantan Staf Khusus Menteri Sosial bidang Program Kerja dan SDM di periode pertama pemerintahan Jokowi ini.
Mas'ud mengingatkan, di Kementerian Sosial ada Direktorat Jenderal (Dirjen) Rehabilitasi Sosial. Selama ini mereka telah melakukan banyak program solutif dalam penanganan PMKS, seperti pembangunan terintegrasi 'Desaku Menanti' di beberapa titik di Indonesia.
Beberapa di antaranya di Gunung Kidul, Padang, Pasuruan dan juga di Kota Malang. Selain sukses menangani PMKS, program tersebut kini juga menjadi penggerak ekonomi kreatif sebagai desa wisata.
"Kami berharap Bu Menteri Risma melalui Kemensos yang saat ini, bisa melanjutkan apa-apa yang dulu di tahun 2015 hingga 2017 telah dirancang Kemensos, terutama berkaitan dengan penanganan gepeng dan PMKS," katanya.
Harapannya Mensos bisa merancang program yang lebih sistematis. Terlebih, Kemensos sejatinya sudah memiliki data yang terintegrasi terkait PMKS, yang menyatu di setiap provinsi, kabupaten dan kota.
"Jika beliau merancang program dengan sistematis maka bisa diintergrasikan dengan program yang dilakukan di kabupaten kota. Jadi, dari Kemensos ke Dinas Sosial setempat terintegtasi," ujarnya.
Mas'ud mencontohkan, di Kota Malang, program 'Desaku Menanti' kini telah berhasil menjadi kampung Wisata Topeng, yang mampu mengangkat ekonomi masyarakat.
Wisata kampung topeng, merupakan format penanganan tunawisma atau gepeng yang sudah terintegrasi. Anak-anak mendapatkan pendidikan formal dan informal. Mereka juga diberikan bekal mulai mainan dan juga pembangun skill.
Begitu juga dengan ibu-ibu, diberikan pelatihan menjahit. Mereka dilatih untuk membuat makanan olahan untuk kemudian dipasarkan ke kota. Berkolaborasi dengan peguruan tinggi, produk olahan ibu-ibu tersebut dibenahi kemasannya.
Kemudian untuk para bapak-bapak, diberikan pekerjaan membuat topeng. Topengnya dijual ke publik wisatawan yang datang.
Untuk para anak muda juga diberikan alat musik, dan sound sistem agar mereka bisa mengeksplorasi seni dan bakat di bidang musik. Mereka biasa tampil menghibur dan mendapatkan penghasilan.
"Saat itu Menterinya Ibu Khofifah. Beliau membangunkan mereka 40 rumah di sana. Jadi mereka para gepeng dialihkan ke sana dengan menghuni rumah yang sudah dibangunkan oleh Kemensos. Di sana lengkap, ada rumah ibadah, workshop. Sering dijadikan penelitian dari perguruan tinggi," ujarnya.
Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa mereka yang tinggal di sana, diberi pekerjaan, tidak kembali menjadi gepeng. Hal itu menjadi bukti bahwa programnya berhasil.
"Kalau gepeng dihalau satu satu, tidak efektif. Itu seperti hit and run. Karena tidak terintegrasi. Akan lebih baik penanganan PMKS itu dilakukan simultan, terintegrasi dan sistematis," katanya.
Terpenting, dalam penanganan tunawisma juga harus ditanamkan perubahan mindset tidak lagi meminta. Melainkan diajak untuk lebih banyak memberi, sehingga mereka tidak kembali lagi.
Editor: Ihya Ulumuddin