MALANG, iNews.id - Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan terakhir di nusantara yang berdiri antara abad 13 hingga 16. Kerajaan ini pernah menyatukan nusantara dan ternyata pernah melakukan sensus penduduk.
Kebijakan tersebut untuk memetakan masyarakat di suatu daerah kekuasaan. Selain itu kerajaan melakukannya untuk penarikan pajak atau upeti.
Seperti yang dikisahkan pada buku "Menuju Puncak Kemegahan Sejarah Kerajaan Majapahit", tulisan Slamet Muljana. Dalam buku tersebut terdapat dua kebijakan Hayam Wuruk yakni sensus penduduk dan penarikan pajak atau upeti.
Tercatat saat itu istilah sensus penduduk menggunakan cacah desa dan cacah jiwa.
Ketika itu, Wengker Wijayarajasa sebagai Dewan Pertimbangan Agung Majapahit memerintahkan untuk mencatat semua desa yang ada di wilayah Kerajaan Majapahit dan menguraikan keadannya. Perintah itu dilakukan untuk mencatat isi rumah hingga penghuninya.
Tujuannya tentu untuk mengetahui keadaan daerah masing-masing dengan seksama. Hal ini memudahkan pengawasan pemerintah pusat kepada pelaksanaan perintah Sri Nata Singasari Kereta Wardana yang, menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Agung.
Konon karena ada pengawasan inilah, penduduk takut untuk melanggar karena adanya aturan undang-undang. Akibatnya, hidup mereka teratur menurut anjuran raja.
Tak hanya itu, Kerajaan Majapahit juga memerintahkan wilayah-wilayah untuk menyetorkan pajak atau upeti kepada pemerintah pusat. Untuk melancarkan pembayaran pajak ini, Sri Nata Singasari mengirimkan utusan bujangga dan mantri, seperti pegawai ke tanah jajahan untuk menarik pajak.
Uang pajak itu digunakan untuk membiayai usaha Raja Hayam Wuruk memelihara kesejahteraan umum rakyatnya.
Bagi seorang bujangga yang dikirim ke tanah jajahan atau pulau lain, ada larangan besar untuk mencari keuntungan atau menjalankan dagang.
Perintah Sri Nata harus diutamakan dan dilaksanakan, di samping mempertinggi ajaran agama Siwa agar jangan menyimpang dari yang seharusnya.
Maka tak heran, bila petugas pajak ini biasanya juga menjabat sebagai pendeta untuk menyebarkan ajaran Siwa.
Para pendeta ini mendapat kepercayaan untuk memungut pajak, di samping juga memperluas daerah agamanya. Bagi semua utusan larangan besar untuk berdagang atau mencari keuntungan sendiri, larangan itu dinyatakan tegas dengan sanksinya.
Editor : Donald Karouw
Artikel Terkait