KEDIRI, iNews.id – Sejarah Pondok Pesantren Lirboyo, Kota Kediri, Jawa Timur, menarik diulas. Pesantren yang telah mewarnai sejarah Nusantara lebih dari satu abad mendadak ramai diperbincangkan usai diusik salah satu program acara televisi swasta yang menyinggung harkat dan martabat kiai.
Pesantren Lirboyo bukan hanya tempat menimba ilmu, tapi juga simbol perjuangan ulama dalam membangun bangsa. Pesantren ini telah banyak melahirkan tokoh-tokoh ulama berpengaruh. Berikut sejarah lengkap Ponpes Lirboyo, dari awal mula hingga kontribusinya di era modern.
Sejarah Pondok Pesantren Lirboyo
Ponpes Lirboyo didirikan pada tahun 1910 oleh KH Abdul Karim yang sebelumnya bernama Manab. Beliau dilahirkan sekitar tahun 1856 di Dukuh Banar, Desa Diyangan, Kawedanan Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah, anak ketiga dari pasangan Abdur Rahim dan Salamah. Sepeninggal ayahnya Abdur Rahim, Kiai Manab memutuskan untuk merantau demi menuntut ilmu, mengikuti jejak kedua kakaknya yakni Aliman dan Mu’min.
Keinginan Kiai Manab dipicu oleh kharisma para alim ulama yang merupakan pengikut Pangeran Diponegoro, seperti Kiai Imam Rofi’i dari Bagelan dan Kiai Hasan Bashori dari Banyumas.
Kiai Manab mulai nyantri untuk mempelajari ilmu-ilmu dasar, seperti ilmu amaliyah, sambil membantu memanen padi sebagai buruh. Sejumlah pesantren pernah disambanginya. Namun, paling lama menjadi santri di bawah bimbingan Syaikhona Kholil Bangkalan. Di situ, Kiai Manab nyantri selama hampir 23 tahun. Pada saat itu, ia sudah berusia 40 tahun dan telah menunjukkan sebagai sosok seorang kiai.
Setelah sekian lama, Kiai Kholil merasa bahwa Kiai Manab sudah dianggap lulus dan cukup. Kiai Manab lalu berpamitan untuk pulang ke Magelang, tetapi setibanya di Jombang ia mendengar bahwa sahabatnya KH Hasyim Asy’ari, telah mendirikan pesantren di Tebuireng, Jombang, selama tiga tahun. Kiai Manab kemudian singgah di pesantren tersebut dan nyantri selama lima tahun, beliau disitu mengajar kitab nahwu shorof.
Kiai Manab, yang saat itu berusia 50 tahun, kemudian dijodohkan oleh Hadratusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari dengan Siti Khodijah, putri Kiai Sholeh. Meskipun sudah menikah, Kiai Manab tetap melanjutkan nyantri di Tebuireng.
Kiai Sholeh lantas berkeinginan untuk membeli sebidang tanah di Lirboyo dan memberikannya kepada Kiai Manab. Proses pembelian tanah tersebut berjalan lancar, karena saat itu Lirboyo dikenal sebagai daerah yang angker dan tidak aman. Lurah Lirboyo, yang tidak lagi mampu menenangkan warganya itu lalu meminta bantuan Kiai Sholeh untuk menempatkan menantunya di sana agar masyarakat yang kekurangan bimbingan spiritual dapat tersadarkan.
Kiai Manab pun kemudian menetap di Lirboyo. Dari titik itu, Kiai Manab memulai segalanya dari awal. Melansir dari laman lirboyo, saat itu, Desa Lirboyo hanyalah kawasan kecil yang dikenal angker dan menjadi sarang penyamun serta perjudian.
Nama “Lirboyo” ternyata punya makna filosofis yang dalam. Menurut sejarah setempat, kata ini berasal dari dua suku kata, yaitu “lir” yang berarti selamat dan “boyo” yang berarti bahaya.
Jadi, Lirboyo dapat dimaknai sebagai tempat yang membawa keselamatan dari bahaya, sebuah doa dan harapan agar wilayah tersebut menjadi lebih aman dan diberkahi.
Namun, dengan ketabahannya Kiai Manab secara perlahan berhasil menyadarkan penduduk setempat. Beliau kemudian mulai membangun sarana tempat ibadah, yaitu sebuah musholla yang dikenal dengan sebutan langgar angkring, lalu tiga tahun kemudian didirikanlah sebuah masjid yang dikenal dengan masjid lawang songo pada tahun 1913.
Dengan adanya masjid tersebut, keberhasilan dakwah Kiai Manab semakin terlihat. Masjid itu tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat pendidikan dan pengajian. Lambat laun, banyak masyarakat yang kemudian berguru kepadanya, termasuk seorang santri dari Madiun bernama Umar. Santri pertama ini kemudian menjadi cikal bakal Pondok Pesantren Lirboyo, yang dirintis dari nol oleh Kiai Manab.
Dengan tekun, rajin, dan tabah, Kiai Manab mengembangkan pesantren tersebut. Dalam satu dekade, banyak kemajuan yang dicapai. Jumlah santri semakin meningkat, datang dari berbagai daerah.
Desa Lirboyo yang dulunya gelap dan rawan kriminal berubah drastis berkat kehadiran pesantren. KH Abdul Karim tidak hanya mengajar ilmu agama, tapi juga membersihkan masyarakat dari kemaksiatan melalui dakwah dan teladan. Ini membuat Lirboyo menjadi pusat Islam di Kediri, terhubung dengan jaringan pesantren besar seperti Tebuireng (KH Hasyim Asy'ari) dan Tambakberas (KH Abdul Wahab Chasbullah).
Perkembangan dan Kontribusi di Masa Kemerdekaan
Pada era kolonial Belanda, Ponpes Lirboyo menjadi basis perlawanan spiritual. Santri Lirboyo aktif dalam pergerakan NU, yang didirikan pada 1926. KH Abdul Karim, sebagai bagian dari jaringan ulama NU, mendidik santri dengan semangat nasionalisme. Saat Jepang menduduki Indonesia (1942-1945), pesantren ini tetap bertahan meski dibatasi.
Puncak kontribusi terjadi pada Resolusi Jihad NU 1945. Santri Lirboyo ikut berjuang melawan penjajah, termasuk dalam Pertempuran Surabaya 10 November 1945. Banyak alumni menjadi pejuang, seperti KH Anwar Manshur (generasi selanjutnya) yang aktif di NU. Pada 1964, Madrasah Tsanawiyah Al Khoziny didirikan, menandai integrasi pendidikan formal dengan salafiyah.
Pasca-kemerdekaan, pesantren berkembang pesat. Pada 1970-an, dibangun madrasah aliyah dan perguruan tinggi. Kini, di bawah pimpinan KH M. Anwar Manshur (cucu KH Abdul Karim), pesantren memiliki 15 lembaga pendidikan: dari TK hingga perguruan tinggi, termasuk Ma'had Aly dan Institut Agama Islam Al Khoziny. Santri mencapai ribuan, dengan fokus kitab kuning dan tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Itulah sekelumit sejarah Pondok Pesantren Lirboyo yang banyak melahirkan tokoh Islam terkemuka dan moderat.
Editor : Kastolani Marzuki
Artikel Terkait