JAKARTA, iNews.id - Menjelang terjadinya peristiwa 30 September 1965, muncul istilah-istilah baru yang diduga sebagai sandi yang digunakan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk mempersiapkan Dewan Revolusi. Istilah-istilah tersebut membuat masyarakat saat itu bertanya-tanya tentang apa yang akan terjadi.
Salah satu istilah baru yang muncul saat itu adalah Senam Revolusioner. Istilah itu digaungkang Subandrio dalam Kongres Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Serbupri). Dengan istilah itu, kaum buruh didorong untuk lebih aktif menggelar aksi massa.
"Ia menyerukan kepada kaum buruh untuk menggunakan aksi-aksi sebagai senam revolusioner, agar otot-otot dan tulang-tulang gerakan buruh menjadi kuat, untuk kemudian naar de politieke macht, menuju kekuatan politik,” kata Yoga Sugomo dikutip dari buku 'Jenderal Yoga Loyalis di Balik Layar'.
Subandrio adalah Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) sekaligus sebagai Wakil Perdana Menteri (Waperdam). Kendati tercatat sebagai kader Partai Sosialis Indonesia (PSI), kebijakan Subandrio dinilai condong kepada PKI.
Saat orang-orang PKI, BTI, dan Pemuda Rakyat terlibat benturan dengan Ansor NU di Kediri, Jawa Timur lantaran orang PKI melakukan aksi sepihak, Subandrio justru menggertak orang-orang NU.
Di depan pimpinan Ansor dan PB NU, Subandrio terang-terangan mengatakan Ansor NU tidak akan mampu melawan orang-orang PKI karena PKI menguasai intelijen. Dia justru meminta Ansor NU ikut menjaga ketenangan dan tidak terlalu agresif menghadapi PKI.
“Di bidang intelijen saudara-saudara kalah dengan PKI. Orang PKI tahu di mana saudara sekarang sedang berada. Bahkan tahu di mana Pak Idham Chalid (Ketua PBNU) dan tokoh-tokoh lainnya berada. Tetapi saudara dan tokoh NU tidak tahu di mana DN Aidit berada. Saudara harus mengerti hal ini,” kata Subandrio seperti dikutip dari buku Benturan NU PKI 1948-1965.
Ibu Pertiwi Hamil Tua
Kebijakan intelijen Subandrio juga banyak memojokkan TNI Angkatan Darat. Isu Dewan Jenderal terkait adanya sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat yang tidak loyal kepada Presiden Soekarno atau Bung Karno juga datang darinya.
Selain istilah Senam Revolusioner, menjelang peristiwa 30 September 1965 juga muncul ungkapan Ibu Pertiwi Sudah Hamil Tua. Ungkapan itu pertama kali datang dari anggota CC PKI Anwar Sanusi.
Di tengah situasi krisis ekonomi dan politik tanah air, pernyataan Ibu Pertiwi sudah Hamil Tua itu dilontarkan berkali-kali oleh para tokoh PKI. Para lawan-lawan PKI menangkap pernyataan itu sebagai sebuah sandi gerakan politik. “Ibu Pertiwi sudah hamil tua, yang akan segera melahirkan satu kekuatan baru”.
Pada 30 September 1965, sebuah gerakan yang menamakan diri Gerakan 30 September melakukan aksi penculikan sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat yang dituding sebagai Dewan Jenderal. Gerakan penculikan sekaligus pembunuhan dilakukan Dewan Revolusi yang dipimpin oleh Letkol Untung Sutopo.
Upaya perebutan kekuasaan itu dalam waktu cepat berhasil dipadamkan. Sejumlah pimpinan, kader, serta seluruh simpatisan PKI di Indonesia diburu dan ditangkap.
Ketua CC PKI DN Aidit, Njoto dan Untung Sutopo dieksekusi mati. Pada 12 Maret 1966, pemerintah resmi menyatakan PKI sebagai partai terlarang.
Editor : Reza Yunanto
Artikel Terkait