MALANG, iNews.id - Perkembangan Islam di Malang tak bisa dilepaskan dari masjid tertua yang berada di Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang ini. Masjid Masjid At-Thohiriyah atau yang dikenal dengan sebutan Masjid Bungkuk menjadi tempat ibadah umat Muslim tertua di Malang Raya.
Masjid yang berlokasi di Kelurahan Pagentan, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, ini disebut menjadi masjid tertua di Malang Raya. Masjid Bungkuk dibangun oleh pengikut Pangeran Diponegoro pada abad 18 saat mayoritas penduduk sekitar menganut agama Hindu.
Lokasi masjid berada di tengah perkampungan padat penduduk warga. Sekilas, masjid ini tidak ada bedanya dengan masjid lain pada umumnya. Hampir seluruh desain bangunan masjid sudah modern.
Memasuki bangunan inti masjid, sejumlah lukisan ukiran kaligrafi dengan keramik indah menghiasi dinding bangunan. Keanehan muncul saat empat tiang terbuat dari kay menopang ruangan masjid dan seolah terpisah dari bangunan inti.
Empat tiang ini membentuk persegi dan dilapisi kayu jati dengan ukiran ayat-ayat Alquran. Tingginya sekitar lima meter menjulang dengan empat sisinya yang berkaitan.
Bergeser ke bagian belakang bangunan, terdapat kompleks permakaman pendiri masjid.
Penasihat takmir Masjid At-Thohiriyah, KH Moensif Nachrowi, mengatakan masjid ini dibangun pada awal abad 18 oleh Kiai Hamimuddin. Ketika beliau membangun masjid, daerah sekitar masih merupakan hutan belantara dengan penduduk mayoritas beragama Hindu.
"Kiai Hamimuddin ini adalah laskar dari Pangeran Diponegoro, seperti Anda tahu Perang Diponegoro Belanda itu kalah, menang, kalah, menang, dan perang yang terakhir 1825, hingga akhirnya Pangeran Diponegoro ditangkap dibuang ke Makassar," ucap KH Moensif Nachrowi ditemui di rumahnya, Sabtu (1/4/2023).
Saat itu, Kiai Hamimuddin yang kabur dari kejaran pasukan Belanda menetap di Singosari dan mulai menyebarkan agama Islam sesuai pesan dari Pangeran Diponegoro. Awalnya, Hamimuddin hanya mendirikan gubuk kecil untuk mengajar dan salat.
"Beliau bikin gubuk kecil terbuat dari bambu, dari gedeg, dari daun-daunan kecil. Ini dibangun masuk abad 18. Kerajaan Singosari dibangun abad 12 punahnya abad 13. Jadi artinya sudah sekitar lima ratusan tahun (jarak pendirian masjid dengan runtuhnya Kerajaan Singosari)," katanya.
Semula, murid Kiai Hamimuddin hanya beberapa orang saja. Namun ketertarikan masyarakat sekitar Singosari kala itu kian tinggi.
Penyebabnya karena agama Islam tidak mengenal kasta pemisah layaknya agama Hindu yang dianut mayoritas masyarakat sekitar. Hal ini membuat bangunan gubuk kecil itu tak lagi muat untuk menampung warga yang belajar agama Islam pada Kiai Hamimuddin.
Dari sanalah akhirnya Kiai Hamimuddin membangun masjid yang lebih luas dengan struktur bangunan semi permanen. Struktur bangunan masjid pun diperkuat dengan batu bata dan kayu.
"Dibikinlah sebuah bangunan yang lebih semi permanen, sudah ada bata, ada kayu, ada genteng, karena sudah dimulai genteng itu, maka harus ada penyangga kuda-kuda dan ada empat tiang itu zamannya kyai Hamimuddin, ketika santri sudah mulai makin lama makin banyak," ungkap KH Moensif.
Hal itulah yang membuat terdapat empat tiang yang seolah terpisah dari bangunan utama masjid. Empat tiang itu dipertahankan sebagai bagian dari konstruksi masjid tua yang dibangun oleh Kiai Hamimuddin.
Sementara istilah Masjid Bungkuk sendiri dikatakan Moensif, karena berdakwah agama Islam, Kiai Hamimuddin mengajar sejumlah ibadah seperti salat, mengaji, hingga bersujud. Dari tara cara ibadah di salat yakni rukuk dan sujud inilah muncul kata Bungkuk.
Bungkuk sendiri berasal dari kata kerja bahasa Jawa yang berarti posisi tubuhnya agak ditekukkan ke depan. Cara ibadah inilah yang juga membuat masyarakat beragama Hindu kian tertarik dengan Islam.
"Kiai Hamimuddin mengajar, di sana ngajar ngaji, ngajar salat, di sana wong bungkuk bungkuk. Iya nggak tahu aktivitas apa, tahunya gini wong bungkuk-bungkuk (rukuk-rukuk, rukun salat), yang rupanya sampai sekarang dilestarikan wilayah ini namanya wilayah Bungkuk," kata KH Moensif.
Istilah bungkuk pun kian populer digunakan masyarakat dan terdengar dari mulut ke mulut. Masyarakat Singosari saat itu menyebutnya bungkuk, agar mudah mengistilahkan ajaran agama baru yang dibawa oleh Kiai Hamimuddin.
Sedangkan nama masjid At-Thohiriyah berasal dari kata Thohir. Nama itu merujuk pada menantu Kiai Hamimuddin yang mewariskan pengelolaan masjid.
Sosok KH Thohir disebut berasal dari Cangaaan, Bangil. Dia satu angkatan dengan ulama asal Madura, Syaikhona Kholil. Kharismanya yang begitu besar membuat santri-santri kian berdatangan dari berbagai daerah ke masjid itu.
KH Moensif Nachrawi mengakui dari beberapa literasi dan informasi beberapa dosen yang menugaskan mahasiswanya untuk melakukan penelitian perkembangan Islam di Malang raya, Masjid Bungkuk ini merupakan masjid tertua yang ada di Malang raya. Namun secara pasti dia menyebut tidak memiliki data penelitian tersebut.
"Tapi kalau melihat dosen-dosen pembimbing yang mengirim mahasiswa mahasiswanya itu belajar awal sejarah awal perkembangan agama Islam di minta ke sini. Rupanya saya nilai di sini ini yang awal, saya nggak bisa mengatakan pasti karena saya tidak pernah survei, yang jelas di sini abad 18," kata KH Moensif.
Kini Masjid At-Thohiriyah memang telah bertransformasi sebagai salah satu pusat syiar agama Islam dan tempat ibadah yang lebih modern. Desain bangunan pun menyesuaikan zamannya dengan tiga kali proses rekonstruksi, namun corak khas empat tiang utama yang jadi awal mula masjid tetap dipertahankan hingga kini.
Editor : Rizky Agustian
Artikel Terkait