BOJONEGORO, iNews.id - Masjid Nurul Huda di Desa Cangaan, Kecamatan Kanor menjadi saksi pelarian pasukan Kerajaan Mataram di Bojonegoro. Masjid yang berada di tepian Sungai Bengawan Solo ini memang didirikan oleh pasukan Mataram Islam bernama Ki Ageng Wiroyudo, yang kabur diri Kerajaan Mataram Islam karena mengindari kejaran Belanda.
Bangunan masjid ini sekilas tak jauh beda dengan bangunan masjid lain. Konstruksi bangunannya pun baru dan lebih modern. Tiba di masjid sebagai gapura berwarna putih menyambut setiap jamaah yang datang ke Masjid Nurul Huda.
Di area halaman masjid pun seluruhnya tak tampak bila masjid ini merupakan masjid tertua di Kabupaten Bojonegoro. Halaman seluruhnya sudah terlapisi batu paving.
Sementara memasuki area serambi atau teras masjid bangunan pun sudah cukup modern dengan lantai seluruhnya terlapisi keramik. Bangunan masjid ini memiliki lebar 15 x 15 meter, dengan dominasi struktur tembok berwarna putih dengan pilar berlapis keramik pula. Kesan masjid tua pun terasa tampak terlihat dan lebih terlihat seperti bangunan masjid pada umumnya.
Bukti masjid ini sudah berusia ratusan tahun baru ditemukan di sebuah daun pintu, tepat ketika memasuki pintu ruangan utama masjid. Daun pintu berbahan baku kayu jati kuno yang terletak di pintu depan masuk masjid. Di daun pintu ini bertuliskan sebuah huruf arab dan huruf aksara jawa.
Tak ketinggalan dua kalimat bertuliskan 'Laa Ilaha Illallah' di kanan dan 'Muhammad Rasulullah' di kiri dengan huruf arab gundul. Di bawahnya terdapat tulisan 1262 H menggunakan angka arab yang menandakan tahun renovasi ketiga, atau bila dikonversi ke tahun Masehi yakni 1847 Masehi.
Konstruksi di dalam masjid yang merupakan sisa peninggalan bangunan kuno ada di pilar utama di ruangan ibadah utama, yang direkonstruksi ulang dengan lebih kuat. Masjid Nurul Huda Cangaan juga tercatat di salah satu bangunan cagar budaya tempat ibadah di Jawa Timur dengan nomor 5/BJG/2000 dengan kordinat UTM 49M 609071 E 9210610N.
Ketua Takmir Masjid Jami' Nurul Huda Cangaan, Abdul Hakim membenarkan, masjid yang berada di Desa Cangaan, Kecamatan Kanor, Kabupaten Bojonegoro ini merupakan masjid tertua di Bojonegoro yang berdiri tahun 1775 Masehi. Dimana tulisan tahun 1262 H atau tahun 1847 Masehi di daun pintu itu merupakan renovasi ketiga dari masjid.
"Memang masjid ini tertua di Bojonegoro didirikan tahun 1775. Jadi tulisan 1262 H di daun pintu merupakan renovasi ketiga dari waktu berdiri awalnya masjid," kata Abdul Hakim.
Menurut Hakim, Masjid Jami Nurul Huda ini didirikan oleh salah satu pasukan dari Kerajaan Mataram Islam asal Solo yakni Ki Ageng Wiroyudo. Ki Wiroyudo demikian nama akrab beliau, yang kemudian berganti nama menjadi Abdul Hamid, usai pergi haji.
Dia konon kabur dari Kerajaan Mataram lantaran wilayah kerajaan diserang Belanda dan ia pun melarikan diri menelusuri Sungai Bengawan Solo hingga terdampar di Desa Piyak, Kecamatan Kanor.
"Jadi dari cerita nenek moyang dahulu Mbah Buyut Wiroyudo dengan nama Ki Ageng Wiroyudo ini kabur dari Mataram karena dikejar Belanda. Naik perahu bersama pasukan lainnya dan terdampar di Desa Piyak. Lalu setahun di Piyak, pindah ke sini (Cangaan)," ucapnya.
Di Desa Cangaan inilah, Wiroyudo akhirnya mendirikan masjid tahun 1775 M untuk tempat ibadah dan menyebarkan ajaran agama islam. Awalnya bangunan Masjid Nurul Huda hanya berkonstruksikan kayu dengan atapnya berasal dari alang-alang dan daun jati.
"Dulu sebelum dipugar, masjid tersebut atapnya terbuat dari alang-alang dan daun jati. Jadi masjid ini digunakan sebagai tempat penyebaran islam di Cangaan dan sekitarnya," katanya.
Sejak berdiri tahun 1775 M hingga saat ini, masjid sudah direnovasi 5 kali, daun pintu dan 4 pilar di masjid yang masih dipertahankan merupakan hasil renovasi ketiga tahun 1262 H atau 1847 M. Sisanya masjid terpaksa dibongkar demi mengantisipasi banjir yang setiap tahun nyaris muncul menggenangi lokasi.
Letaknya yang berjarak sekitar 100 meter dari Sungai Bengawan Solo membuat masjid ini rentan tergenang banjir dari aliran anak Sungai Bengawan Solo yang ada tak jauh juga dari bangunan masjid.
"Kami sengaja meninggikan 1 meter karena kalau banjir ini setiap Salat Jumat tidak bisa digunakan. La masak kalau lagi banjir sebulan bisa 2 kali kebanjiran, terus gak salat Jumat," tutur Hakim.
Maka faktor itulah yang akhirnya membuat konstruksi sebagian besar masjid diperbarui dan terkesan lebih modern. "Sebenarnya sayang kalau dipugar dari bangunan aslinya. Tapi mau bagaimana lagi harus ditinggikan, tapi tidak mengubah gaya arsitek lama masjid hanya ditinggikan dan terlihat lebih modern saja," katanya.
Alhasil karena itulah, beberapa konstruksi masjid seperti marmer kuno yang ada di bagian depan masjid sebagian rusak dan disusun ulang dan diletakkan di bagian samping kiri masjid.
Selain konstruksi dasar bangunan masjid yang masih dipertahankan, terdapat sejumlah peninggalan kuno yang masih tersimpan mulai dari karpet merah, keris, dan tombak milik Ki Wiroyudo yang tersimpan dalam peti kayu jati yang juga usianya diperkirakan sudah mencapai 342 tahun.
"Ada peninggalan karpet merah, tombak, dan keris yang tersimpan dalam peti kayu. Itu semua barang dari Ki Wiroyudo. Bahkan karpet merah itu pernah dipakai pemerintah Bojonegoro menyambut kedatangan Bung Karno waktu berkunjung ke Bojonegoro," ujarnya.
Tak ketinggalan pula, jam matahari atau sundial sebagai alat yang menunjukkan waktu masuk salat sebelum adanya jam, atau masyarakat sekitar mengenalnya dengan nama benjet. Benjet ini kini diletakkan di halaman depan masjid, sebagai penghias bangunan masjid lantaran sudah ada jam.
Sayang ada beberapa barang-barang tinggalan dari Ki Ageng Wiroyudo yang rusak karena efek banjir yang menggenangi masjid, seperti kita kuno dan beberapa mushaf kuno bertuliskan huruf Arab kuno, yang berusia ratusan tahun juga rusak.
"Ada Kitab tulisan arab gundul peninggalan Mbah Buyut Wiroyudo, dari tulis tangan berbahan kertas, sekarang rusak terkena banjir," katanya.
Editor : Ihya Ulumuddin
Artikel Terkait