Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait memberi keterangan pers atas dugaan pencabulan pemilik Sekolah SPI di Polres Batu. (Foto: Okezone/Avirista Midaada).

MALANG, iNews.id - Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) meminta kementerian agama melakukan pengawasan ekstra terhadap pondok pesantren atau lembaga pendidikan agama. Permintaan ini disampaikan menyusul maraknya kasus pelecehan seksual terhadap anak di lingkungan pesantren belakangan ini. 

Beberapa kasus tersebut di antaranya di Bandung, Jombang serta yang terbaru di Kulonprogo. Kasus asusila tersebut mayoritas menimpa anak di bawah umur dan dilakukan oleh oknum guru atau ustaz di pesantren. 

"Setiap kantor wilayah (Kanwil) kementerian agama (Kemenag) di daerah harus melakukan pengawasan dan monitoring terhadap setiap lembaga dan satuan pendidikan berlatar agama atau nonagama. Fungsi itu belum jalan," Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait, Selasa (25/1/2022). 

Apalagi, kata Arist, jumlah pesantren di tiap daerah cukup banyak. Di Jawa Timur misalnya terdapat sekitar 5.000 Ponpes. Semua itu kata dia harus diawasi, sehingga kejadian pemerkosaan yang dilakukan guru seperti di Ponpes Herry Wiryawan di Bandung tidak terulang. 

"Maka dari peristiwa Bandung yang menjadi polemik hukuman mati kepada terduga pelaku, itu bergulir. Ternyata terus bermunculan, saya tidak menggeneralisir, tapi adanya oknum guru ngaji. Jadi bukan secara keseluruhan. Tapi peristiwa itu mengganggu kita," katanya. 

Dia menambahkan, perlu adanya tes psikologi yang dilakukan instansi dinas pendidikan atau kemenag daerah masing-masing, kepada para pengajar, baik di lembaga pendidikan khususnya pondok pesantren. Hal itu dianggap penting untuk mencegah adanya terjadinya kekerasan seksual. 

"Tiga bulan sekali memeriksa kondisi psikologis guru. Karena memang itulah, sebuah aturan. Di Jawa Timur banyak. Kalau ini tidak dimonitor, tidak terlihat apakah terjadi kekerasan atau tidak," tuturnya. 

"Tetapi terus terang saya tidak mengeneralisir. Tapi ada peristiwa itu yang bisa dijadikan koreksi, terhadap proses pendidikan yang berlatar belakang ponpes. Saya tidak mau mengatakan itu. Tapi ada peristiwa yang dijadikan refleksi, dimana kekurangan kita," ujarnya. 

Terakhir Arist menegaskan perlu adanya mempertegas hukuman terhadap pelaku, demi menegakkan keadilan bagi para korban kekerasan seksual. Maka dia pun meminta agar aparat penegak hukum bisa melaksanakan hukuman maksimal sesuai aturan perundang-undangan. 

"Itu (kekerasan seksual terhadap anak) pelanggaran hak asasi, termasuk kebiri itu masih belum ada satu tindakan betul-betul orang dikebiri. Karena undang-undang mengatakan jalani dulu pidana pokoknya, baru setelah itu dilaksanakan sesudah keputusan hakim, kebirinya," katanya. 

Sebagai informasi sejumlah kasus kekerasan seksual dan pemerkosaan menimpa sejumlah anak yang tengah menempuh pendidikan di Ponpes. Salah satu yang menyita perhatian publik tentu sosok Herry Wiryawan, guru di sebuah Ponpes di Bandung yang memperkosa 13 santriwati. 

Herry dituntut hukuman mati oleh jaksa penuntut umum (JPU) jaksa juga meminta hakim untuk mengenakan hukuman tambahan berupa kebiri kimia. Berikutnya membayar denda senilai Rp 500 juta subsider satu tahun kurungan, hingga membekukan yayasan dan pondok pesantren yang dikelola oleh Herry.

Terdapat sembilan bayi yang dilahirkan akibat perbuatan Herry. Bahkan, tercatat ada seorang santri yang melahirkan sebanyak dua kali. Pada persidangan sebelumnya, Herry mengaku perbuatannya itu dilakukan karena khilaf, dan dia pun meminta maaf pada keluarga korban.


Editor : Ihya Ulumuddin

BERITA POPULER
+
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network