SURABAYA, iNews.id - Raden Martapura atau Raden Mas Wuryah diangkat menjadi raja Mataram sepeninggal Hanyakrawati di hutan Krapyak. Namun, kekuasaannya hanya berlangsung sehari semalam, karena setelah itu dilanjutkan oleh Sultan Agung.
Momen ini bermula sebelum Hanyakrawati meninggal dunia. Saat itu dia telah berjanji memberikan takhtanya kepada Raden Martapura atau Raden Mas Wuryah. Di sisi lain, menjelang wafatnya Pangeran Hanyakrawati justru menunjuk Sultan Agung alias Mas Rangsang untuk menduduki takhta Mataram.
Soedjipto Abimanyu pada bukunya "Babad Tanah Jawi", menceritakan Raden Martapura atau Raden mas Wuryah adalah putra pertama dari istri Panembahan Hanyakrawati yang bernama Ratu Lung Ngawu, yang berasal dari Ponorogo. Ratu Lung ini juga merupakan Garwa Padmi dari Panembahan Hanyakrawati.
Maka, keputusan Panembahan Hanyakrawati yang menjelang wafat justru menunjuk Raden Mas Rangsang alias Sultan Agung sebagai Raja Mataram menggantikan dirinya mendapat penentangan dari pihak Ponorogo. Kemudian, dicarilah solusi pemecahan masalah untuk mengatasi kasus ini.
Menurut Wewaler KRT Hasan Midaryo (1999), sebelumnya, Panembahan Hanyakrawati bagai telah mendapat firasat. Sehingga, ia memanggil para pangeran dan kerabat, yang disaksikan oleh Adipati Mandaraka, Pangeran Purbaya, untuk berkumpul dalam Pisowanan di Pendopo Prabayaksa Keraton guna menerima wasiat agar Raden Mas Rangsang diangkat menjadi Raja Mataram jika ia mangkat.
Wasiat tersebut didasarkan pada ramalan Panembahan Bayat, penasihat spiritual keraton, yang menyatakan bahwa Raden Mas Rangsang akan membawa kejayaan bagi Keraton Mataram dengan menguasai seluruh Jawa. Dari pesan Panembahan Hanyakrawati itulah akhirnya Raden Martapura tetap diangkat sebagai raja di Kesultanan Mataram, untuk sementara.
Menurut JP Coen yang menjabat sebagai kepala perdagangan VOC, pada waktu itu, Raden Martapura masih berumur 8 tahun, sedangkan Sultan Agung berumur sekitar 20 tahun. Raden Martapura, meskipun masih muda, namun ditunjuk sebagai pengganti Panembahan Hanyakrawati.
Sebab, ketika ia dilahirkan, ayahnya telah dinobatkan sebagai Raja Kerajaan Mataram. Sedangkan, Sultan Agung yang usianya lebih tua dari Raden Martapura, ketika ia dilahirkan, Panembahan Krapyak masih berstatus sebagai Putra Mahkota Kerajaan Mataram.
Suatu hal yang biasa bahwa putra mahkota berusia lebih muda dibanding putra-putra raja yang lain, karena Parameswari sebagai ibu dari Raden Martapura dinikahi lebih akhir. Dengan kata lain, ibunya dinikahi oleh Panembahan Krapyak setelah berstatus sebagai raja.
Dengan demikian, Raden Martapura hanya menjadi raja selama sehari semalam. Setelah ia turun takhta, kemudian Sultan Agung diangkat sebagai raja. Pangeran Purbaya, sebagai sesepuh Mataram, mengatakan bahwa bagi yang tidak setuju dengan peningkatan tersebut, hendaklah maju, dan ia yang akan menghadapinya.
Kenaikan takhta Sultan Agung juga berdasarkan trah. Sultan Agung merupakan putra yang dilahirkan oleh putri dari Pajang, sedangkan Raden Martapura dilahirkan oleh seorang putri dari Ponorogo. Menurut Panembahan Hanyakrawati, trah dari Pajang lebih tinggi daripada trah Ponorogo. Jadi, secara trah, Sultan Agung lebih tinggi derajatnya daripada Raden Martapura.
Editor : Ihya Ulumuddin
Artikel Terkait