LUMAJANG, iNews.id - Tukiran terlihat tekun memunguti barang-barang yang berserakan di dalam rumahnya. Lumpur yang menelan mata kakinya dia abaikan. Sesekali dia memandangi sekeliling rumahnya yang memang rusak cukup parah. Terkadang, matanya menatap puncak Gunung Semeru yang tampak megah terlihat dari rumahnya.
Peralatan dapur dan beberapa benda elektronik dia sisihkan dari rendaman lumpur yang mulai mengeras. Tangannya yang keriput masih sigap untuk menyelamatkan barang-barang yang menurutnya berharga. Sedetik kemudian, dia mengangkut benda-benda itu dengan menggunakan motor.
Meski raut sedih terlihat dari bapak berumur 60 tahun itu, namun Tukiran tampak tegar. Saat Gunung Semeru erupsi Sabtu (04/12/2021) lalu, dia harus menelan pil pahit kala melihat anaknya meregang nyawa di depan matanya. Bawon Triono, anak semata wayangnya itu mengembuskan napas terakhir beberapa saat setelah ditemukan di sungai yang juga merupakan lokasi penambangan pasir.
Tukiran masih mengingat betul kondisi anaknya sebelum meregang nyawa. Di pangkuannyalah anaknya yang berumur 33 tahun itu meninggal dunia. "Sempat masih hidup waktu ditemukan, tapi tidak lama setelah itu dia meninggal dunia," ucap Tukiran.
Bawon Triono ditemukan sekitar 2 kilometer dari rumahnya. Sehari-hari, dia bekerja sebagai penambang pasir di sungai yang melintas persis di belakang rumahnya.
Masih lekat dalam ingatan Tukiran tatkala dia ikut berjuang menyelamatkan putranya. "Saya cari di sungai setelah ada hujan abu dan lahar. Sempat berpikir anak saya bisa selamat," tutur Tukiran.
Nasib berkata lain. Meski detak jantung dan napasnya menunjukkan tanda-tanda kehidupan, Bawon akhirnya tak bisa diselamatkan. Sekujur tubuhnya terbakar dan sempat membuat Tukiran menitikkan air mata melihat kondisi sang putra.
"Iya, seluruh kulitnya gosong," ujar Tukiran yang sehari-hari bertahan hidup dari bertani ini.
Dia lantas bertutur kejadian yang semasa hidupnya di lereng Gunung Semeru paling menakutkan itu. Di dan warga Dusun Curahkobokan lainnya tak menyadari akan bahaya letusan gunung tertinggi se pulau Jawa itu. "Jangankan tanda di atas, letusannya saja kami tidak mendengar," tuturnya lagi.
Yang dia tahu, kondisi awan menjadi gelap. Tak berselang lama, hujan turun disertai dengan abu vulkanik. Dari situlah ia menyadari bahwa gunung yang berada persis di depan rumahnya itu meletus. "Lalu saya keluar rumah dan mencari anak saya. Setelah itu, saya tidak berani pulang," cerita Tukiran lagi.
Tak hanya kehilangan putranya, Tukiran juga kehilangan hewan ternak piaraannya. Namun, itu bukan lantaran dampak letusan Gunung Semeru. "Pertama kali saya datang ke rumah, kambing-kambing saya masih ada lima. Tapi sehari kemudian, kambing-kambing itu hilang," akunya dan menyebut angka rupiah jika kambing-kambing itu dijual.
Tukiran mengakui bahwa erupsi Gunung Semeru kali ini paling dahsyat sepanjang umurnya tinggal di kampung Curahkobokan, Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo. Melihat dampak yang ditimbulkan, dia mulai berpikir ulang untuk tetap tinggal di rumahnya yang kondisinya juga mengalami kerusakan cukup parah. Bahkan, tak satupun dari ratusan rumah di kampungnya itu yang lolos dari amukan Semeru.
Meski tak memiliki tempat tinggal cadangan, dia tak lagi berpikir untuk membenahi rumahnya. Hanya benda-benda yang menurutnya berharga saja yang ia selamatkan. "Siapa yang berani tinggal di kampung ini. Lihat saja bagaimana jika Semeru meletus lagi. Rumah ini akan saya tinggal," kata Tukiran.
Tukiran juga tak memiliki rencana untuk menetap di mana. Pascaerupsi Semeru, dia tinggal sementara di rumah saudaranya di kampung sebelah. Dia hanya bisa pasrah dan tak memiliki rencana membangun rumah lantaran kondisi ekonominya. "Tidak tahu bagaimana nanti. Yang jelas saya tidak akan tinggal di sini lagi," ujarnya.
Editor : Ihya Ulumuddin
Artikel Terkait