SURABAYA, iNews.id - Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Jawa Timur (Jatim) menanggapi santai polemik pelemahan rupiah beberapa waktu belakangan. HIMPI Jatim menilai, ekonomi Indonesia tetap kokoh dan tidak menjurus ke krisis kendati saat ini rupiah sedang terdepresiasi.
Ketua HIPMI Jatim, Mufti Anam, mengatakan, kondisi fundamental ekonomi nasional cukup baik. Apalagi dengan pertumbuhan ekonomi 5,2 persen dan inflasi tahunan terkelola di level 3,2 persen. Ditambah, peringkat utang Indonesia masih investment grade. Bahkan lembaga Rating Fitch tetap mempertahankan outlook stable untuk Indonesia.
“Pelemahan rupiah lebih banyak disebabkan faktor eksternal. Terutama gejolak Turki dan Argentina serta kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed),” katanya, Rabu (5/9/2018).
Mufti menambahkan, faktor eksternal pula yang menyebabkan Indonesia mengalami krisis 1998. Namun, yang membedakan dengan kondisi saat ini adalah posisi fundamental ekonomi yang jauh lebih baik dibanding 1998.
”Jadi memang beda kondisi saat ini dengan 1998. Fundamental ekonomi kita oke hari ini. Bahkan kalau dibandingkan dengan negara lain, kita lebih baik. Cadangan devisa pun tinggi. Sehingga BI (Bank Indonesia) punya cukup ruang untuk intervensi rupiah,” papar Mufti.
Saat ini, Mufti menilai, pengelolaan utang valas swasta juga sudah cenderung lebih berhati-hati karena banyak yang telah menggunakan fasilitas hedging (lindung nilai) agar terlindungi dari gejolak nilai tukar.
“Di lingkungan HIPMI sendiri sudah disosialisasikan penggunaan fasilitas swap BI untuk pengusaha yang butuh dolar. Pengusaha-pengusaha muda juga sudah konversi dolar ke rupiah. Anak-anak muda Jatim ada valas hasil ekspor, semua dikonversi ke rupiah. Ini wujud gerak kita bersama menjaga ekonomi,” ujarnya.
Mufti mengatakan, pengusaha mengapresiasi respons cepat pemerintah dan BI dalam mengelola dinamika kurs. Misalnya, BI langsung menurunkan batas minimal transaksi swap lindung nilai yang mendorong pengusaha memakai fasilitas itu agar terlindungi dari gejolak kurs.
Juga ada pembatasan impor barang-barang yang tak strategis, peningkatan bahan bakar nabati untuk menekan impor minyak, dan sebagainya. “Semua respons cepat pemerintah dan BI tersebut mampu berdampak psikologis yang membuat dunia usaha yakin bahwa risiko nilai tukar bisa terkelola dengan baik,” ucapnya.
Editor : Himas Puspito Putra
Artikel Terkait