Candi Borobudur yang dibangun Raja Samaratungga pada masa Kerajaan Mataram Kuno di era Wangsa Syailendra. (Foto: Ist)

MALANG, iNews.id - Wangsa Sailendra menjadi salah satu dinasti besar yang memegang kekuasaan di Nusantara, terutama di wilayah Jawa pada abad ke-8 M. Jejak awalnya muncul dalam Prasasti Kalasan bertahun 700 Saka atau 778 M.

Dalam prasasti tersebut, istilah Sailendrawangsa disebut secara eksplisit. Istilah serupa juga ditemukan dalam Prasasti Kelurak tahun 782 M, Prasasti Abhayagiriwihara dari Bukit Ratu Baka tahun 792 M, dan Prasasti Kayumwungan tahun 824 M.

Menariknya, sebutan Wangsa Sailendra juga muncul dalam peninggalan luar Jawa seperti Prasasti Ligor B5, Nālanda di India, dan Leiden. Semua prasasti itu memakai bahasa Sanskerta.

Tiga dari empat prasasti bahkan menggunakan huruf Siddham, bukan huruf Pallawa atau Jawa Kuno. Ini menunjukkan adanya pengaruh kuat dari luar wilayah Nusantara, khususnya India dan Asia Tenggara daratan.

Sailendra berarti "raja gunung". Di India dan Asia Tenggara, istilah ini bukan hal asing. Dalam bahasa Khmer kuno, kata “vnam” atau “bnam” berarti gunung, sama makna dengan Sailendra.

Sejarawan Prancis George Coedes menyebut asal wangsa ini dari Fu-nan atau Kamboja. Dalam sumber Tiongkok, raja Fu-nan disebut parwatabhūpala, raja gunung. Setelah Fu-nan runtuh sekitar tahun 620 M, anggota wangsa ini diyakini melarikan diri ke Jawa.

Pendapat lain menyebut Wangsa Sailendra berasal dari India Selatan dan sempat berkuasa di Palembang. Namun pada tahun 683 M, mereka melarikan diri ke Jawa karena diserang Sriwijaya dari Semenanjung Malaya.

Teori ini menguatkan dugaan adanya migrasi elite politik dari luar ke Jawa dan membentuk kekuasaan baru di sana.

Filolog Belanda Johannes Gijsbertus de Casparis menyebut istilah Waranarādhirājarāja dalam Prasasti Kelurak dan Candi Plaosan Lor sebagai petunjuk. Dia mengaitkan Waranara dengan Na-fu-na, pusat Fu-nan setelah perpindahan dari T’e-mu.

De Casparis percaya, raja dari Na-fu-na datang ke Jawa dan menaklukkan keturunan Sañjaya, penguasa lokal yang menganut Siwa. Sejak itu, muncul dua wangsa di Jawa: Wangsa Sañjaya (Siwa) dan Wangsa Sailendra (Buddha Mahayana).

Prasasti Kalasan menjadi bukti penting. Disebutkan terdapat dua penguasa: Permata Wangsa Sailendra (tanpa nama) dan Rakai Panangkaran dari Wangsa Sanjaya, yang disebut sebagai raja bawahannya.

Sebaliknya, filolog Indonesia Poerbatjaraka berpendapat Wangsa Sailendra merupakan trah lokal. Wangsa ini tidak ada kaitannya dengan luar negeri maupun hubungan Nusantara dengan luar negeri kala itu.

Menurut Poerbatjaraka, awalnya Sailendra menganut agama Siwa, namun kemudian berpindah ke Buddha Mahayana. Dia merujuk Carita Parahyangan yang mencatat Rahyang Sañjaya meminta anaknya, Rahyangta Panaraban (Rakai Panangkaran), untuk meninggalkan agama yang dianutnya.

Pertarungan ideologi dan kekuasaan antara dua wangsa ini terekam dalam berbagai prasasti dan situs purbakala. Wangsa Sañjaya tetap eksis sebagai penganut Siwa, sedangkan Wangsa Sailendra membangun Candi Borobudur sebagai simbol kejayaan Buddha Mahayana.

Keduanya hidup berdampingan namun dalam ketegangan, menciptakan dinamika politik dan budaya yang rumit di masa Jawa Kuno.

Misteri asal usul Wangsa Sailendra belum sepenuhnya terpecahkan. Apakah mereka raja gunung dari India Selatan, pelarian dari Fu-nan, atau benar-benar asli Jawa seperti diyakini Poerbatjaraka?

Yang jelas, Wangsa Sailendra memegang peran sentral dalam sejarah klasik Nusantara dan membangun monumen agung seperti Candi Borobudur yang menjadi warisan dunia.


Editor : Donald Karouw

BERITA POPULER
+
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network