Gubernur Jatim Soekarwo, Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, dan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X meresmikan nama Jalan Siliwangi dan Jalan Sunda di Surabaya, Selasa (6/3/2018). (Foto: iNews/Ihya’ Ulumuddin)

SURABAYA, iNews.id – Jawa Timur (Jatim) kini memiliki Jalan Siliwangi dan Jalan Sunda. Dua nama jalan ini menggantikan dua nama jalan di Surabaya, masing-masing Jalan Gunungsari dan Jalan Dinoyo. Dua nama baru tersebut diresmikan Gubernur Jawa Timur Soekarwo, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan dan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X, Selasa (6/3/2018).

Penggantian nama jalan di Surabaya ini bagian dari rekonsiliasi budaya antara Jawa Timur dan Jawa Barat. Ini sekaligus juga menandai berakhirnya 661 tahun konflik antaretnis Sunda dengan etnis Jawa, pascatragedi Pasunda Bubat pada tahun 1357. Rekonsiliasi ini diwujudkan melalui penggantian dua jalan arteri di Kota Surabaya dengan menggunakan nama yang menyimbolkan kesundaan.

Jalan Prabu Siliwangi menggantikan Jalan Gunungsari sedangkan Jalan Sunda menggantikan Jalan Dinoyo. Penggantian nama jalan tersebut menjadikan Jalan Prabu Siliwangi berdampingan dengan Jalan Gajah Mada. Sementara Jalan Sunda berdampingan dengan Jalan Majapahit.

“Lewat peristiwa ini, permasalahan antara etnis Jawa dan Sunda yang terjadi sejak 661 tahun lalu, selesai hari ini. Alhamdulillah, baik saya dan Pak Aher (Ahmad Heryawan) akhirnya bisa menemukan satu titik kesamaan,” kata Soekarwo pada acara Rekonsiliasi Budaya Harmoni Budaya Sunda-Jawa di salah satu hotel di Surabaya, Selasa (6/3/2018).

Orang nomor satu di Jatim ini mengungkapkan, rekonsiliasi ini penting untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, khususnya antara etnis Sunda dan Jawa. Pasalnya, akibat tragedi Pasundan Bubat, kedua etnis ini kerap berselisih dalam berbagai hal yang menyangkut hubungan kemanusiaan, seperti perkawinan, pendidikan dasar, dan lainnya.

“Tragedi Pasundan Bubat adalah perang antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda yang terjadi pada abad ke-14, tepatnya pada tahun 1357. Tragedi ini diakibatkan kesalahpahaman antara Gajah Mada sebagai patih Kerajaan Majapahit,” cerita Soekarwo.

Kemudian, lanjut dia, Anepaken sebagai patih Kerajaan Sunda keliru dalam mengartikan sebuah pertemuan persuntingan putri Kerajaan Sunda, Diah Pitaloka oleh Raja Majapahit, Hayam Wuruk. Kesalahpengertian ini mengakibatkan peperangan, yang mengakibatkan raja Sunda, isterinya, serta putri Diah Pitaloka dan pasukannya meninggal dunia.

“Jauhnya jarak antara peristiwa perang Bubat dengan munculnya beberapa naskah kuno hingga 200 tahun berikutnya, seperti Kidung Sundayana diduga sebagai upaya divide et impera (politik adu domba) penjajah,” ujar Pak De Karwo, sapaan akrab Soekarwo.

Pihaknya menekankan pentingnya bagi generasi masa kini untuk mendudukkan tragedi Perang Bubat sebagai peristiwa kebudayaan. Untuk melenyapkan masalah ini, diperlukan terobosan-terobosan kebudayaan antara masyarakat Sunda dan Jawa. Salah satunya lewat rekonsiliasi harmoni budaya Sunda-Jawa ini.

Rekonsiliasi ini akan merekatkan bangsa Indonesia melalui simpul-simpul yang memberikan orientasi nilai perjuangan dan persatuan. “Tentunya dengan bingkai dan landasan keragaman budaya sebagai sumber kekuatan bangsa Indonesia,” ungkapnya.

Gubernur Jabar Ahmad Heryawan menyambut baik rekonsiliasi Sunda dan Jawa yang diwujudkan melalui hadirnya simbol Sunda pada dua ruas jalan di Jatim ini, tepatnya di Kota Surabaya. Hal serupa akan dilakukan di Jabar, tepatnya di Kota Bandung, dengan membuat Jalan Majapahit dan Jalan Hayam Wuruk.

“Nama Jalan Majapahit akan menggantikan Jalan Gasibu di tengah kota. Kemudian Jalan Kopo diganti Jalan Hayam Wuruk. Penggantian nama kedua jalan ini dilakukan pada bulan April atau awal Mei 2018 mendatang” kata Aher, sapaan akrab Ahmad Heryawan.

Senada dengan Pak De Karwo, Aher sepakat rekonsiliasi ini menjadi bagian penting untuk mempererat hubungan antara etnis Sunda dengan Jawa. Rekonsiliasi ini akan membawa dampak psikologis untuk merekatkan etnis Jawa dan Sunda.

“Rekonsiliasi ini terobosan yang tepat untuk menyatukan bangsa Indonesia. Sebab, jumlah etnis Jawa mencapai 42% dari seluruh etnis di Indonesia sedangkan etnis Sunda mencapai 14%. Jika digabungkan, jumlahnya mencapai 56% atau separuh lebih dari seluruh etnis di Indonesia,” paparnya.

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono X yang juga hadir dalam acara ini mengungkapkan, pemberian nama-nama jalan ini diharapkan memutus sejarah kelam 661 tahun lalu atas tragedi Bubat yang meretakkan hubungan antara etnik Sunda dengan Jawa.

“DIY telah meletakkan nama Jalan Siliwangi, Pajajaran dan Majapahit menjadi satu kesatuan jalan dalam satu jalur, dari ruas simpang Pelemgurih ke Jombor, diteruskan sampai di simpang tiga Maguwoharjo, dan dilanjutkan lagi hingga simpang Jalan Wonosari,” katanya.


Editor : Maria Christina

BERITA POPULER
+
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network